Dunia Kecilku

Selamat datang di dunia kecilku. Dunia yang terbatas ketidakmampuan mengekspresikan semua keinginan, dunia yang hanya berupa penggalan penggalan, dan akan menjadi utuh karena kehadiranmu. :D

Cep Agus diajar nulis Headline Animator

Kamis, 02 Agustus 2012

Menyentuh Langitmu: Part 2. Ia dan Cintanya


“Aw… “ cubitan kecil yang kurasakan saat Phia menempelkan obat merah di bibirku yang jontor cukup membuat ku tersentak.
“Ah masa jagoan kampus cengeng kaya gini.” Ucap Phia, sepupu kecilku yang mengobati sambil tersenyum.
“Tenang aja Ka Adi, kakak masih ganteng koq.. “ Ledeknya. Mungkin, bagi orang yang baru kenal, akan capek mendengar ocehannya.
“Oh iya Ka, Motor kakak yang gede ada di bengkel. Rusak parah. Tangkinya penyok, stangnya bengkok. Lampu depannya juga pecah. Kemarin Phia sama Mang Cahyo ngambil motor itu. Dianter sama kakak… emh siapa ya namanya…Oh iya ka,  siapa perempuan yang mengantar Kaka pulang kemarin?  Pacar ka Adi bukan? Tapi sejak kapan kaka punya cewe berjilbab? Eh tapi cantik koq kak, ramah lagi…“ 
Ocehan Phia selanjutnya tak lagi kudengar. Ada bara yang menyulut, membakar ego dan melumat habis nalarku. Baru kali ini aku merasakan penghinaan yang teramat sangat, ditolong oleh seorang perempuan. Pikiranku dipenuhi dengan makian dan cacian, yang semakin lama semakin berisik, tak mampu kubungkam atau tak ingin kubungkam.


Sayang, aku benar benar tak ingat apa yang kemudian terjadi setelah kejadian di gang kemarin. Saat terbangun, aku sudah berada di ruang 4 x 5 yang terlihat lebih rapi dari biasanya. Baju baju kotor yang menumpuk di gantungan dan kursi sudah pindah tempat. Rak buku dari kayu rotan kembali dijejali majalah majalah musik dan buku desain grafis yang sempat berserakan di lantai dan meja komputer. Asbak batu dengan tumpukan puntung rokok putih serta serakan abu di lantai tak lagi kulihat. Semuanya rapi. Pandanganku akhirnya menangkap sosok yang menyulap kamarku saat itu. Phia. Ia tengah merapikan meja kecil di sudut kamar. Menata kembali hiasan hiasan yang terpajang di sana; frame foto aku bersama ayah dan ibu saat lulus SMA, juga wayang golek Astrajingga yang Phia berikan spesial untukku. Katanya, wayang tersebut sengaja ia pesan dari temannya yang seorang dalang.

Untuk beberapa saat, kuperhatikan Phia. Dengan hati hati ia membersihkan bekas luka di wajahku dengan antiseptik. Wajahnya tak banyak berubah sejak terakhir kami bertemu setahun yang lalu. Sikapnya pun begitu. Dua hari yang lalu ia datang bersama ayahnya. Namun paman Yadi tak belama lama di sini. Ia mendapat tugas dari sekolah tempatnya bekerja untuk mengikuti pelatihan di Depok. Phia merupakan putri tunggal Kang Yadi, pamanku yang berdarah Sunda. Keceriaan yang tetap terbungkus sikap santun ia pelajari dari ayahnya. Sementara wajahnya begitu mirip dengan Ibunya, Bude Teti. Agak gelap namun ayu, bibir tipis berlian, hidung kecil tanpa tonjolan, dengan mata bulat kecil. Mewakili sebagian besar wajah orang Jawa. Sebagai satu satunya keluarga campuran, ia memang sedikit berbeda dengan keluarga keluarga ku yang lain. Bila kebanyakan anggota keluarga besar Soewarno  pergi merantau, maka seperti kebanyakan orang Sunda, Phia lebih senang berada di rumah. Dari SD sampai SMA ia habiskan di kota kelahirannya, Bandung. Penampilannya sederhana, jarang aku melihatnya dandan atau memakai aksesoris berlebih.  Satu satunya perhiasan yang sering ia kenakan adalah kalung emas putih peninggalan ibunya. Tubuh pendek kecilnya pun jarang dihampiri gaun. Kaos panjang dan celana katun lebih sering menemaninya kemana pun ia pergi.

Paman Yadi sendiri merupakan satu satunya anggota keluarga yang berasal dari suku Sunda. Sikap tulus dan humorisnya membuat Bude Teti yang perfeksionis luluh. Mereka pun menjadi pasangan yang paling romantis di keluarga kami. Namun hidup tak selamanya tentang senyuman. Dua tahun lalu, Bude Teti meninggalkan kami semua. Diduga, kematiannya disebabkan mal praktek yang dilakukan seorang dokter di sebuah rumah sakit swasta di Bandung. Sayang, pamanku enggan memperpanjang masalah tersebut. Saat pihak rumah sakit menyampaikan permintaan maaf dan memberikan santunan, ia dengan begitu saja menerimanya. Dari sanalah keluarga besar kami sedikit menjauh dari paman. Sikapnya yang lemah terhadap sistem, dengan menghentikan tuntutan dan memaafkan begitu saja pihak rumah sakit, dinilai langkah yang salah oleh seluruh keluarga besar kami. Malah ada anggapan bahwa sebetulnya paman tidak mencintai Bude Teti. Ini pun berdampak pada Phia, ia menjadi jarang diundang bila keluarga besar kami mengadakan acara kumpulan. Namun Phia enggan mempermasalahkannya. Ia dengan cueknya berkunjung ke rumah saudara saudara dari ibunya, seolah tak melihat ada ketegangan antara keluarga besar kami dengan Ayahnya. Yang paling aneh bagi kami adalah sikap mereka selepas kepergian Bude Teti. Paman Yadi dan Phia tak terlihat murung atau bersedih berlama lama. Mereka memang sempat melepas tangis di hari Bude Teti meninggal, namun hari berikutnya, mereka beraktifitas seperti biasa. Aneh. Bahkan bagiku terlalu aneh, karena aku tahu betul betapa paman Yadi dan Phia menyayangi Bude Teti. Pernah suatu hari aku bertanya pada Paman Yadi, kenapa ia tak bersedih atas kepergian istrinya. Namun jawabannya tak membuatku puas. Katanya hidup dan kematian bukanlah hal untuk ditangisi. Kematian hanyalah pengingat bahwa hidup ini harus berarti. Terlalu klise.    

“Udah De, kaka mau keluar.” Pintaku.
“Tapi Ka, “
“Phia!!” nadaku meninggi. Phia yang cukup mengenalku dengan terpaksa menurunkan tangannya dari wajahku. Ia kemudian pamit. Sambil tetap tersenyum ia memintaku tidur kembali. Tidur. Bagaimana bisa aku tidur saat pikiranku dipenuhi kebencian pada perempuan itu.  Kusibakkan selimut. Setelah sedikit merapihkan diri, kuraih kunci vespa dari atas lemari baju. Dengan mengabaikan saraf saraf yang berontak saat luka luka itu terus menyiksa, kulangkahkan kaki menuju garasi.
"Adi, mau kemana lagi kamu? " Teriakan ibu yang berlari mengejar dari dalam rumah tak kuhiraukan. Dengan liar kuraungkan motor menuju jalanan.

Tidak ada komentar: