Dunia Kecilku

Selamat datang di dunia kecilku. Dunia yang terbatas ketidakmampuan mengekspresikan semua keinginan, dunia yang hanya berupa penggalan penggalan, dan akan menjadi utuh karena kehadiranmu. :D

Cep Agus diajar nulis Headline Animator

Senin, 06 Agustus 2012

Menyentuh Langitmu: Part 4. Laki Laki dan Kenangannnya

And the rain begins to fall down on me
As the sadness growing deep inside me
I feel a little insecure right now
I am crawling, looking for a place to hide
So where has all my lights gone?
For I need to fine the way out there
In my every breath, I am chanting your name
Give me strength so I can save my soul

Lagu itu mengalun lembut dari tape deck hitam di samping tempat tidurku. Setiap nadanya menggiring kesendirian dari tiap sudut ruang ke dalam dada. Kucoba menguapkan kehampaan dan kesunyian itu dengan kepulan asap putih dari batangan tembakau yang terbakar, namun mereka enggan terurai. Semuanya seolah larut dalam setiap bentuk yang ku alirkan.


Berkali kucoba pejamkan mata, berkali pula aku terjaga. Bukan karena luka yang kurasakan. Bukan pula karena kebencian yang sempat merajai pikiran. Justru objek yang sempat menjadi sasaran kebencian itulah yang kemudian mengambil alih duniaku. 'Siapa dia? Siapa perempuan yang mereka panggil Umi itu? Kenapa mereka memanggilnya Umi? Setahuku Umi artinya Ibu. Sementara ia masih begitu muda, mungkin usianya tak jauh beda denganku. Entah kenapa pula, kebencianku pun tiba tiba saja luntur setelah menyaksikan sikapnya tadi siang. 
Dari bangku bambu, kulihat ia begitu menikmati dunianya. Membantu penjaja jamu melayani pembeli. Bersenda gurau dengan para pedagang di sana. Bermain gitar bersama para pengamen cilik. Menarik. Jari jarinya dengan lincah memetik dan memainkan nada lagu lagu jalanan. Tak hanya itu, suaranya, meski tak seindah Mariah Carey, namun cukup membuat penikmatnya terhanyut. Dengan riang ia ikuti nyanyian anak anak jalanan. Tak sedikitpun ia mengeluhkan luka di bibir bekas tamparanku. Wajahnya yang tegas, dengan sorot mata yang tajam, bersebrangan dengan kelembutan senyum dan sikapnya pada semua orang. Siapa dia? Kenapa aku tiba tiba merasa terhimpit dalam bayangnya. Apakah karena rasa bersalah yang tiba tiba saja menyeruak saat ia tak berniat membalas tamparanku. Ya, ia tak membalas apa yang telah kulakukan kepadanya. Bahkan ia tetap tersenyum saat mata ini sempat beradu pandang. Ia pun sempat menitipkanku pada penjual es campur sebelum ia pamit dan berlalu. Kenapa pertanyaan pertanyaan itu membidik ku sekarang, bukan tadi saat aku masih mungkin mendapatkan jawabannya? Ah…
'Ka Adi... Ka... ' Lamunanku terkoyak. Phia dengan senyum khas nya, nongol dari balik pintu yang sedikit terbuka.
'Makan yuk!' Matanya yang mirip Melissa, penyanyi cilik pelantun Abang Tukang Bakso itu menatapku. Aku menggeleng dan memberi isyarat untuk segera menutup pintu kembali. Tatapannya meredup. Ia menunduk sambil terus menarik pegangan pintu.
'De tunggu de... ' aku segera beranjak mengejarnya. Tiba tiba saja aku teringat cerita Phia tadi pagi tentang perempuan itu.
"Oh, perempuan cantik yang nganterin ka Adi kemaren? Emh siapa yah?" goda Phia sambil menuangkan air minum ke dalam gelasku.
"Emang kenapa dengan kaka cantik itu Ka?"
Aku tak lantas menjawabnya. Aku pun belum menemukan alasan kenapa aku jadi penasaran dengan perempuan itu. Perempuan yang sudah menghancurkan harga diriku. Eh tidak, menolongku. Ya dia menolongku… perempuan yang ...
"Hello? Are you listening to me, my handsome brother?"
"Eh.. ga kenapa napa de. Kaka pengen tau aja."
"Lho, kenapa ga nanya Mamah, kemaren Mamah koq yang nanya nanya?”
“Emang mamah nanya apa aja?” Tanyaku penasaran.
“Emh… gimana ya… Tapi Kaka itu hebat lho kak, dia tetep aja senyum walau di..ben..tak” Phia berhenti. Ia menyadari ada yang salah dengan ucapannya.
"Mamah ngebentak dia? Kenapa?" Tanyakusambil terus berdiri dan menggebrak meja.
Phia terperanjat keudian menunduk berselimut ketakutan. 
 "Duh, maaf kaka, Phia ga bermaksud ... ... "
"Argh... " Tanpa kendali tangan ini menyapu gelas di depanku. ‘Prang..’ Ia pecah dan tumpah saat membentur dinding ruang makan, menyisakan serpihan tajam dan air yang menggenang.

Entah apa yang ada di pikiranku saat itu. Kemarahan kembali berdiri gagah di kepalaku. Kemarahan yang membuatku berlari menaiki tangga. Kemudian dengan keras, mengetuk pintu kamar dan berteriak memanggil manggil Mamah.
"Apa apa an kamu Adi?"
"Adi mau ngomong sama Mamah, Awas!" Pintaku sambil mencoba melewati tubuh besar laki laki yang hampir menutupi seluruh pintu.
Namun ia tak bergeming. Ia menangkap pundak ku, mendorongku kembali ke luar.
"Oh jadi gini kelakuan mu selama ini?" Bentaknya dengan mata yang nyaris keluar sepenuhnya.
Amarahku semakin meninggi.
"Awas " Kutepiskan tangannya yang menahan gagang pintu, kembali mencoba menerobos masuk, melewati hadangannya. Namun, tampaknya ia tengah sama buasnya denganku. Tanpa keringat, ia menghempaskan tubuhku, menjauh dari pintu.
"Eh Adi, Mana sopan santunmu? Aku ini ayahmu." Kali ini ia tak hanya menggunakan bibirnya. Ia pun mengarahkan telunjuknya tepat ke muka ku.
"Ayah? Seorang ayah ga bakal mencampak kan anaknya demi perempuan jal…"
"Plak..." 

Sekilat tangan ayah melayang menghantam wajahku. Hening. Sesaat, mata ini menangkap bayang bayang masa kecil yang indah bersama ayah menguap. Kemudian hangus dalam gelapnya kebencian yang tengah kurasakan. Mata ini sempat menangkap penyesalan pada matanya. Sayang sesalnya sedikit pun tak menguras luapan amarah dalam diriku. Tanpa bicara, kutinggalkan laki laki yang ingin dipanggil ayah itu. Kulewati Phia yang berdiri di sisi tangga dengan tumpahan kesedihan di pipinya. Kakiku mengikuti amarah, menuntun turun menyusuri tangga, menuju kamar.

 Semuanya meledak di sana. Meletup letup bagai minyak panas bertemu air. Pada tiap letupan yang terjadi, duka lain terkuak, membesar dan menjadi letupan yang lain. Lama kubiarkan amarah melepas amukannnya. Meneriakan kebencian pada orang orang yang tak peduli dengan keberadaannya. Namun semua tak kunjung membuat ku puas. Tak kunjung membuatku tenang. Semua seolah menjadi satu lingkaran tanpa putus; rasa sakit-kebencian-kesedihan.

Akhirnya kuhempaskan tubuhku ke sudut kamar. Air mata pun mulai naik dan perlahan turun menyusuri kusutnya wajahku. Tatapan pun berloncatan dari satu kenangan ke kenangan yang lain. Gorden cokelat berlipat lipat yang dulu sering dibukakan ibu. Jelas terlukis wajah Ibu saat menyapa pagiku dengan senyuman. Kasur busa tumpuk dua. Bayang bayang ayah yang ketakutan dikejar mama, tiba tiba nyelonong masuk kamar dan bersembunyi di antara kasur itu.  Meja kecil kayu jati buatan kakek, patung Astrajingga, juga gitar akustik hitam. Semuanya seolah menahanku. Namun, kebencian telah meluluhkan semuanya. Kuhapus air mataku. Aku harus pergi. Pergi.

Tidak ada komentar: