Dunia Kecilku

Selamat datang di dunia kecilku. Dunia yang terbatas ketidakmampuan mengekspresikan semua keinginan, dunia yang hanya berupa penggalan penggalan, dan akan menjadi utuh karena kehadiranmu. :D

Cep Agus diajar nulis Headline Animator

Senin, 27 Agustus 2012

Undangan dari Masa Lalu

‘Dateng atuh Yah.” Aku melirik ke arah istriku yang sejak tadi mendesak memenuhi undangan itu. Kulipat koran dan kubenahi duduk pada kursi anyaman rotan yang beralaskan busa tebal. Nyaman. Semestinya nyaman.
‘Ah…’ Kuikat jemari di depan perut yang semakin membuncit.
‘Ya udah kalo Ayah emang ga mau, mamah ga akan maksa lagi. Tapi jangan jadi cemberut gitu atuh.’ Goda nya sambil menyodorkan secangkir kopi susu yang telah selesai diaduknya. Aku melemparkan sekilas senyum ke arahnya. Bagaimanapun juga ini bukan masalah yang layak diperdebatkan, terlebih di usia kami yang sudah kepala 3.
‘Oh iya, tadi ada telpon dari UNINAS.’
‘Apa katanya?’ Tanyaku sambil menyeruput kopi susu yang masih ngebul.
‘Mereka ga bilang apa apa sih. Mungkin cuma ingin memastikan kesanggupan Ayah buat ngisi acara mereka.’ Jelasnya.
‘Oh itu. Menurut mama gimana?’
‘Ya kalo menurut mama sih, mending menuhin undangan anak anak Saung.’ Ucapnya enteng. Aku kembali terdiam.
Ya, istriku memang negosiator hebat. Setelah menyuguhkan kopi susu yang tak mungkin kutolak, ia kembali mengajukan proposalnya. Padahal belum satu menit dia mengatakan bahwa dia tak akan memaksa. Ia memang tak memaksa. Tapi… Ah kenapa istriku bersikukuh dengan undangan itu. Apa urusannya dengan anak anak saung? Apa anak anak saung menugaskannya untuk melakukan negosiasi dengan ku? Berlebihan. Istriku terlalu cerdas untuk mereka manfaatkan. Lalu untuk apa?
‘Ayah masuk dulu mah!’ Keluhku sambil terus berdiri meninggalkannya. Aku benar benar tak ingin melanjutkan pembicaraan ini. Bisa bisa ini jadi pemicu debat kusir antara dua kepala yang sama sama keras. Masih jelas di mataku, bagaimana perdebatan terakhir kami berujung dengan aksi pisah ranjang selama hampir dua hari. Aku enggan mengalaminya lagi.
Menit berikutnya, aku sudah terasing di ruang kerja. Ruang 2 x 3 yang berada di lantai dua rumah kami ini, sengaja dipersiapkan sebagai wahana pencarian ide. Jendela kaca yang menghadap ke utara menampilkan sejuknya suasana kebun teh dengan aktivitas para pemetiknya. Jendela ini sengaja kurancang. Bagaimanapun ide tak begitu saja muncul di kepala. Butuh sebuah renungan dalam keadaan batin yang tenang.
Dalam ruangan, hanya ada sebuah meja kerja beserta kursi berwarna coklat tua. Urat urat pada kayunya cukup membuktikan bahwa mereka terbuat dari kayu jati yang sudah tua. Setengah meter dari atas meja, aku memasang rak buku sederhana. Hanya dengan menempatkan selembar papan pada sepasang besi segitiga, aku bisa menyimpan puluhan buku tua di atas nya. Dua buah pot bunga dekat jendela, berisi Aglaonema Pride of Sumatra dan Lipstick sedikit mewarnai ruang sempit ini. Istriku yang menempatkannya di sana. Bunga bunganya pun ia sendiri yang memilih. Namun harus kuakui, aku suka ke dua bunga itu.
Ruangan ini selalu bersih. Cenderung lebih bersih dari ruangan ruangan lainnya. Istriku memang sangat memperhatikan kebiasaanku berlama lama di ruang kerja ini. Kecuali untuk mengingatkan akan waktu Sholat, Ia nyaris tak pernah mengusik. Tak pernah mau. Ia memang salah satu penggemar tulisanku. Karenanya, ia selalu bersabar menunggu ku keluar dengan tulisan tulisan baru.
Namun kali ini aku tak berniat menulis. Mataku menatap lekat selembar kertas F4 yang berisi undangan dari anak anak Saung. Ah aku tak punya kewajiban apa apa terhadap mereka. Meski mungkin aku punya hutang budi. Mungkin. Aku memang pernah berada di komunitas itu. Dulu. Waktu aku masih menghabiskan waktu ber jam jam menyusun rima. Membaca puluhan buku untuk belajar memilah diksi. Dulu. Waktu aku harus menulis ratusan naskah, berharap satu saja lolos ke media. Belajar bersabar menunggu kabar dari penerbit. Belajar menerima bahwa tulisanku hanya jadi tumpukan kertas di gudang tua.Yah dulu. Sebelum akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti egoku. Ego yang berbenturan dengan kungkungan peraturan Saung yang kurasa terlalu mengikat. Entah salah atau benar, namun dengan ego itu aku mampu mengekspresikan kebebasanku. Mengekspresikan kebenaran versiku sendiri. Kebebasan versiku sendiri. Tanpa harus memaknai apa isi tulisanku. Entah salah atau benar. Aku tak pernah mencari tahu. Bagiku apa yang penting adalah apa yang telah kuraih saat ini. Terkenal. Ya, aku terkenal sekarang. Penulis puluhan buku best selller. Pemilik nama pena yang dikenal tiap kepal di nusantara. A.W. KAYAS. Itulah aku.
Ya, sekarang semuanya tak lagi seperti dulu. Tanpa bersusah payah, penerbit langsung menjemput tulisanku. Bahkan mereka sengaja menyiapkan tim editor dan desainer sampul. Selebihnya, aku hanya tinggal menerima kucuran rupiah ke rekening pribadi. Semua dilakukan hanya dengan ide ide sederhana. Tanpa bersusah payah.
Kalaupun tidak menulis, agendaku cukup padat. Hampir setiap minggu ada saja undangan untuk mengisi acara. Dengan cuap cuap selama 1 jam, aku dapat bayaran yang cukup lumayan. Padahal, materinya itu itu saja.
Undangan yang kini kupegang pun maksudnya sama. Namun aku terlalu malas untuk menghadiri acara kecil seperti itu. Kapok. Pernah suatu hari aku memaksakan datang, sekedar untuk menyenangkan istriku. Setibanya di sana tak ada pesta penyambutan. Tak ada suguhan atau sesajen untuk tamu besar sepertiku. Bahkan acaranya dilaksanakan di tempat terbuka. Tanpa alas pula. Yang paling membuatku jengkel, mereka tidak pernah menghargai waktuku. Hanya dengan ucapan terima kasih, mereka mengantarku pulang setelah aku nyaris kekeringan satu jam mengobral bahasa di depan mereka. Anehnya, istriku malah tersenyum saat aku bersungut sungut menceritakan kelakuan mereka.
‘Sayang, udah Dzuhur… ‘ Suara lembut istriku mengusik lamunan. Aku yang sedikit kaget segera berdiri, lupa menyadari bahwa ada rak buku di atas meja. ‘Duk.’ Kepalaku terantuk papan rak. Beberapa buku lama berjatuhan.
‘Iya sayang, sebentar.’ Sambil menahan perih aku memunguti buku buku yang berserakan di atas meja. Perhatianku tiba tiba saja teralihkan pada satu buku bersampul hitam yang tergeletak di bawah meja. Tentu saja aku merasa heran dan langsung memungutnya. Buku itu lebih bersih dari buku buku lainnya. Tampaknya, belum lama ini sempat tersentuh. Sisi sisi sampulnya tak berdebu. Warna hitamnya mengkilat, seolah ada yang baru mengelapnya. Padahal, buku buku di rak ini sudah sangat lama aku simpan. Tak pernah lagi kusentuh. Aku kembali duduk, menatap lekat buku tersebut.
Saung Ranggon - Jurnal Penulis Masa Depan - Adi Wicaksono.
Selanjutnya, mata dan pikiran ini berjalan menyusuri tiap lembarnya.
02 Juni 2004 – Akhirnya aku menemukan rumah tuk berteduh. Tiang tuk berpegang. Titian tuk menggapai cita. Tidak. Allah telah mempertemukan kami. Ini takdir dari Nya. Dzat yang mengabulkan setiap do’a.
09 Juni 2004 – Aku bertemu orang orang hebat di sini. Aku merasa malu, berfikir bahwa selama ini akulah yang paling hebat. Tulisanku lah yang paling layak dibaca. Namun kali ini aku mengakui semuanya. Aku hanyalah bocah yang merasa terbang saat memegang benang layang layang. Terima kasih Allah, telah mempertemukanku dengan mereka. Terima kasih saung, telah menjadi taman agar aku mekar menjadi bunga seutuhnya.
Mataku berhenti menyusuri kenangan kenangan itu saat menyadari ada yang terselip dalam buku yang tengah kugenggam. Kuarahkan telunjukku ke halaman tersebut. Apa yang kutemukan di sana membawaku semakin dalam pada lembaran lembaran kenangan. Masa membentang saat mata ini menyusuri wajah wajah lugu yang terabadikan di sana. Bersama Fahri, Iwan dan Heru, aku jongkok di balik bendera Saung yang dibentangkan Aep dan Wahyu. Anggota akhwatnya berdiri sambil memasang senyum terbaik mereka. Teh Siti dari divisi Kajian Karya dan Teh Rahma, sang ketua komunitas berdiri paling kanan. Suci, Rani, dan… siapa ini? aku lupa namanya. Lalu… Ya Allah, bagaimana kabar mereka sekarang? Yang aku tahu hanya kabar Teh Rahma. Bakatnya sebagai penulis telah membawanya terbang ke beberapa penjuru dunia. Kabar terakhir darinya, ia menjadi pengajar sastra di sebuah Universitas di Amsterdam, Belanda. Lalu Aep, teman seangkatan yang meski lebih muda, namun sangat lihai dalam menulis puisi. Metafora dan diksi yang digunakan dalam setiap tulisannya membawa ia ke lingkungan sastrawan nasional. Terakhir aku melihatnya, ia tengah pentas dalam sebuah acara televisi pada hari anak nasional bersama sastrawan lain. 
Tanpa terasa kenangan kenangan itu mengantarkan buliran air mata ke pelupuknya. Membasahi warna abu abu delapan tahun terakhir ini.

‘Sayang… sayang ga bobo di dalem kan?’ suara itu kembali membawaku pulang ke dunia nyata. Segera ku seka air mata yang menggantung di kerutan wajahku dan bergegas ke luar. Lalu kembali untuk meletakan buku itu di atas meja. Buku itu terbuka. Tak kusadari. Hingga senja mempertemukan kami kembali.
Wajah inilah yang membuatku jatuh cinta kepadamu. Keteguhanmu untuk menggapai asa. Ketekunan mu untuk mencari jawaban atas ketidakpastian. Keindahanmu dalam memaknai dunia. Semuanya ada dalam dirimu. Mama selalu berdo’a agar ayah segera menemukan diri ayah kembali. Seperti dulu, saat mama jatuh cinta kepadamu.’
Mamah Loves You, honey. Be Tough.  
Cianjur, Ramadhan 1433 H

Tidak ada komentar: