‘Dateng atuh Yah.” Aku melirik ke arah istriku yang sejak tadi mendesak
memenuhi undangan itu. Kulipat koran dan kubenahi duduk pada kursi anyaman
rotan yang beralaskan busa tebal. Nyaman. Semestinya nyaman.
‘Ah…’ Kuikat jemari di depan perut yang
semakin membuncit.
‘Ya udah kalo Ayah emang ga mau, mamah
ga akan maksa lagi. Tapi jangan jadi cemberut gitu atuh.’ Goda nya sambil
menyodorkan secangkir kopi susu yang telah selesai diaduknya. Aku melemparkan
sekilas senyum ke arahnya. Bagaimanapun juga ini bukan masalah yang layak
diperdebatkan, terlebih di usia kami yang sudah kepala 3.
‘Apa katanya?’ Tanyaku sambil
menyeruput kopi susu yang masih ngebul.
‘Mereka ga bilang apa apa sih. Mungkin
cuma ingin memastikan kesanggupan Ayah buat ngisi acara mereka.’ Jelasnya.
‘Oh itu. Menurut mama gimana?’
‘Ya kalo menurut mama sih, mending
menuhin undangan anak anak Saung.’ Ucapnya enteng. Aku kembali terdiam.
Ya, istriku memang negosiator hebat.
Setelah menyuguhkan kopi susu yang tak mungkin kutolak, ia kembali mengajukan
proposalnya. Padahal belum satu menit dia mengatakan bahwa dia tak akan
memaksa. Ia memang tak memaksa. Tapi… Ah kenapa istriku bersikukuh dengan
undangan itu. Apa urusannya dengan anak anak saung? Apa anak anak saung
menugaskannya untuk melakukan negosiasi dengan ku? Berlebihan. Istriku terlalu
cerdas untuk mereka manfaatkan. Lalu untuk apa?
‘Ayah masuk dulu mah!’ Keluhku sambil
terus berdiri meninggalkannya. Aku benar benar tak ingin melanjutkan pembicaraan
ini. Bisa bisa ini jadi pemicu debat kusir antara dua kepala yang sama sama
keras. Masih jelas di mataku, bagaimana perdebatan terakhir kami berujung
dengan aksi pisah ranjang selama hampir dua hari. Aku enggan mengalaminya lagi.
Menit berikutnya, aku sudah terasing di
ruang kerja. Ruang 2 x 3 yang berada di lantai dua rumah kami ini, sengaja
dipersiapkan sebagai wahana pencarian ide. Jendela kaca yang menghadap ke utara
menampilkan sejuknya suasana kebun teh dengan aktivitas para pemetiknya.
Jendela ini sengaja kurancang. Bagaimanapun ide tak begitu saja muncul di
kepala. Butuh sebuah renungan dalam keadaan batin yang tenang.
Dalam ruangan, hanya ada sebuah meja
kerja beserta kursi berwarna coklat tua. Urat urat pada kayunya cukup
membuktikan bahwa mereka terbuat dari kayu jati yang sudah tua. Setengah meter
dari atas meja, aku memasang rak buku sederhana. Hanya dengan menempatkan
selembar papan pada sepasang besi segitiga, aku bisa menyimpan puluhan buku tua
di atas nya. Dua buah pot bunga dekat jendela, berisi Aglaonema Pride of
Sumatra dan Lipstick sedikit mewarnai ruang sempit ini. Istriku yang
menempatkannya di sana. Bunga bunganya pun ia sendiri yang memilih. Namun harus
kuakui, aku suka ke dua bunga itu.
Ruangan ini selalu bersih. Cenderung
lebih bersih dari ruangan ruangan lainnya. Istriku memang sangat memperhatikan
kebiasaanku berlama lama di ruang kerja ini. Kecuali untuk mengingatkan akan
waktu Sholat, Ia nyaris tak pernah mengusik. Tak pernah mau. Ia memang salah
satu penggemar tulisanku. Karenanya, ia selalu bersabar menunggu ku keluar
dengan tulisan tulisan baru.
Namun kali ini aku tak berniat menulis.
Mataku menatap lekat selembar kertas F4 yang berisi undangan dari anak anak
Saung. Ah aku tak punya kewajiban apa apa terhadap mereka. Meski mungkin aku
punya hutang budi. Mungkin. Aku memang pernah berada di komunitas itu. Dulu.
Waktu aku masih menghabiskan waktu ber jam jam menyusun rima. Membaca puluhan
buku untuk belajar memilah diksi. Dulu. Waktu aku harus menulis ratusan naskah,
berharap satu saja lolos ke media. Belajar bersabar menunggu kabar dari
penerbit. Belajar menerima bahwa tulisanku hanya jadi tumpukan kertas di gudang
tua.Yah dulu. Sebelum akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti egoku. Ego yang
berbenturan dengan kungkungan peraturan Saung yang kurasa terlalu mengikat.
Entah salah atau benar, namun dengan ego itu aku mampu mengekspresikan
kebebasanku. Mengekspresikan kebenaran versiku sendiri. Kebebasan versiku
sendiri. Tanpa harus memaknai apa isi tulisanku. Entah salah atau benar. Aku
tak pernah mencari tahu. Bagiku apa yang penting adalah apa yang telah kuraih
saat ini. Terkenal. Ya, aku terkenal sekarang. Penulis puluhan buku best
selller. Pemilik nama pena yang dikenal tiap kepal di nusantara. A.W. KAYAS.
Itulah aku.
Ya, sekarang semuanya tak lagi seperti
dulu. Tanpa bersusah payah, penerbit langsung menjemput tulisanku. Bahkan
mereka sengaja menyiapkan tim editor dan desainer sampul. Selebihnya, aku hanya
tinggal menerima kucuran rupiah ke rekening pribadi. Semua dilakukan hanya
dengan ide ide sederhana. Tanpa bersusah payah.
Kalaupun tidak menulis, agendaku cukup
padat. Hampir setiap minggu ada saja undangan untuk mengisi acara. Dengan cuap
cuap selama 1 jam, aku dapat bayaran yang cukup lumayan. Padahal, materinya itu
itu saja.
Undangan yang kini kupegang pun
maksudnya sama. Namun aku terlalu malas untuk menghadiri acara kecil seperti
itu. Kapok. Pernah suatu hari aku memaksakan datang, sekedar untuk menyenangkan
istriku. Setibanya di sana tak ada pesta penyambutan. Tak ada suguhan atau
sesajen untuk tamu besar sepertiku. Bahkan acaranya dilaksanakan di tempat
terbuka. Tanpa alas pula. Yang paling membuatku jengkel, mereka tidak pernah
menghargai waktuku. Hanya dengan ucapan terima kasih, mereka mengantarku pulang
setelah aku nyaris kekeringan satu jam mengobral bahasa di depan mereka.
Anehnya, istriku malah tersenyum saat aku bersungut sungut menceritakan
kelakuan mereka.
‘Sayang, udah Dzuhur… ‘ Suara lembut
istriku mengusik lamunan. Aku yang sedikit kaget segera berdiri, lupa menyadari
bahwa ada rak buku di atas meja. ‘Duk.’ Kepalaku terantuk papan rak. Beberapa
buku lama berjatuhan.
‘Iya sayang, sebentar.’ Sambil menahan
perih aku memunguti buku buku yang berserakan di atas meja. Perhatianku tiba
tiba saja teralihkan pada satu buku bersampul hitam yang tergeletak di bawah
meja. Tentu saja aku merasa heran dan langsung memungutnya. Buku itu lebih
bersih dari buku buku lainnya. Tampaknya, belum lama ini sempat tersentuh. Sisi
sisi sampulnya tak berdebu. Warna hitamnya mengkilat, seolah ada yang baru
mengelapnya. Padahal, buku buku di rak ini sudah sangat lama aku simpan. Tak
pernah lagi kusentuh. Aku kembali duduk, menatap lekat buku tersebut.
Saung Ranggon
- Jurnal Penulis Masa Depan - Adi Wicaksono.
Selanjutnya, mata dan pikiran ini
berjalan menyusuri tiap lembarnya.
02 Juni 2004
– Akhirnya aku menemukan rumah tuk berteduh. Tiang tuk berpegang. Titian tuk
menggapai cita. Tidak. Allah telah mempertemukan kami. Ini takdir dari Nya.
Dzat yang mengabulkan setiap do’a.
09 Juni 2004
– Aku bertemu orang orang hebat di sini. Aku merasa malu, berfikir bahwa selama
ini akulah yang paling hebat. Tulisanku lah yang paling layak dibaca. Namun
kali ini aku mengakui semuanya. Aku hanyalah bocah yang merasa terbang saat
memegang benang layang layang. Terima kasih Allah, telah mempertemukanku dengan
mereka. Terima kasih saung, telah menjadi taman agar aku mekar menjadi bunga
seutuhnya.
Mataku berhenti menyusuri kenangan
kenangan itu saat menyadari ada yang terselip dalam buku yang tengah kugenggam.
Kuarahkan telunjukku ke halaman tersebut. Apa yang kutemukan di sana membawaku
semakin dalam pada lembaran lembaran kenangan. Masa membentang saat mata ini
menyusuri wajah wajah lugu yang terabadikan di sana. Bersama Fahri, Iwan dan
Heru, aku jongkok di balik bendera Saung yang dibentangkan Aep dan Wahyu.
Anggota akhwatnya berdiri sambil memasang senyum terbaik mereka. Teh Siti dari
divisi Kajian Karya dan Teh Rahma, sang ketua komunitas berdiri paling kanan.
Suci, Rani, dan… siapa ini? aku lupa namanya. Lalu… Ya Allah, bagaimana kabar
mereka sekarang? Yang aku tahu hanya kabar Teh Rahma. Bakatnya sebagai penulis
telah membawanya terbang ke beberapa penjuru dunia. Kabar terakhir darinya, ia
menjadi pengajar sastra di sebuah Universitas di Amsterdam, Belanda. Lalu Aep,
teman seangkatan yang meski lebih muda, namun sangat lihai dalam menulis puisi.
Metafora dan diksi yang digunakan dalam setiap tulisannya membawa ia ke lingkungan
sastrawan nasional. Terakhir aku melihatnya, ia tengah pentas dalam sebuah
acara televisi pada hari anak nasional bersama sastrawan lain.
Tanpa terasa kenangan kenangan itu
mengantarkan buliran air mata ke pelupuknya. Membasahi warna abu abu delapan
tahun terakhir ini.
‘Sayang… sayang ga bobo di dalem kan?’ suara itu kembali membawaku pulang ke dunia nyata. Segera ku seka air mata yang menggantung di kerutan wajahku dan bergegas ke luar. Lalu kembali untuk meletakan buku itu di atas meja. Buku itu terbuka. Tak kusadari. Hingga senja mempertemukan kami kembali.
‘ Wajah inilah yang membuatku jatuh cinta
kepadamu. Keteguhanmu untuk menggapai asa. Ketekunan mu untuk mencari jawaban
atas ketidakpastian. Keindahanmu dalam memaknai dunia. Semuanya ada dalam
dirimu. Mama selalu berdo’a agar ayah segera menemukan diri ayah kembali.
Seperti dulu, saat mama jatuh cinta kepadamu.’
Mamah Loves
You, honey. Be Tough.
Cianjur, Ramadhan 1433 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar