Matahari siang itu seolah
membenciku. Ia memusatkan semua panasnya tepat ke kepala. Namun aku enggan
beranjak. Aku tetap duduk di atas motor yang terparkir tak jauh dari tempat
kemarin. Dua mata ini tengah mencari sosok perempuan yang telah menghancurkan harga diri ku. Perempuan
berjilbab dengan mata bulatnya yang tajam berkilat. Ingin rasanya kubuat mata
itu menangis, mengucurkan kepedihan yang tengah kurasakan. Senyumnya. Senyum di
bibir mungil yang sok suci itu, begitu ingin kurobek dan kubuat mengerang,
memohon maaf dan ampun.
Kuhempaskan rokok yang masih
terbakar di tangan. Hatiku terus mencaci perempuan yang seolah tertawa di depan
mata. Sepuluh, dua puluh, tiga puluh menit berlalu, ia belum juga nampak.
Kesabaranku terbayar setelah
menghabiskan lebih dari setengah bungkus rokok. Perempuan itu keluar dari
sebuah gang. Tubuhnya yang munggil, terbalut terusan panjang sederhana berwarna
abu tua. Tangan kirinya mendekap erat sebuah buku coklat tebal. Sementara
tangan kanannya menenteng tas keranjang berwarna kuning cerah kumal yang
terlihat berat. Kerudung kaos yang senada dengan warna bajunya ditambah dengan
sendal gunung hitam dan kaos kaki coklat semakin membuat sosok itu terlihat
sangat kampungan di mataku.. Baju model ini pula yang kulihat ia kenakan kemarin.
Jijik.
Ia kemudian menebar senyum kepada
orang orang yang menyapanya. Dasar penggoda. Sesekali kulihat ia menundukkan
tubuhnya saat berbicara dengan wanita tua penjual jamu. Mungkin ia tengah
merayu agar diberikan segelas jamu. Namun tidak, penjual jamu itu hanya
terlihat tersenyum membalas ucapannya. Haha, rayuannya gagal.
Kesempatan datang saat perempuan itu
duduk santai di sebuah bangku kayu di pinggir jalan milik penjual Es Campur.
Tangannya mengatakan tidak saat penjual Es itu menghampiri, mungkin berniat
menawarkan. Dasar sinting, numpang duduk tapi ga niat beli, pikirku. Yah peduli amat. Yang pasti, dia harus
menangis dengan tanganku hari ini. Tanpa berlama lama, kulajukan motor dan berhenti
tepat di depannya.
"Eh perempuan sialan, ini balasan atas penghinaan mu kemarin." Tanganku dengan cepat mengayunkan helm ke wajahnya. Namun terhenti. Seseorang menangkap tanganku sesaat sebelum helm itu menghantam wajahnya. Helm itupun terlepas, ‘Brak…’ menghantam trotoar. Aku berbalik. Seorang laki laki tua sang penjual es campur itu menatapku. Keberaniannya besar juga, padahal tubuhnya hanya sepertiga ukuran tubuhku.
"Oh ada bodyguardnya ternyata, sini maju
lu"
"Jangan Pa Dudu, ia belum mengerti, tolong maafkan dia."
"Eh perempuan sialan, banyak bacot lu...'Plak' " kali ini aku tak lagi memberi jeda. Tamparanku tepat mengenai pipinya. Ia jatuh tersungkur. Tubuhnya sempat menabrak gerobak es campur sebelum akhirnya jatuh menabrak bangku kayu.
"Makan tuh"
"Jangan Pa Dudu, ia belum mengerti, tolong maafkan dia."
"Eh perempuan sialan, banyak bacot lu...'Plak' " kali ini aku tak lagi memberi jeda. Tamparanku tepat mengenai pipinya. Ia jatuh tersungkur. Tubuhnya sempat menabrak gerobak es campur sebelum akhirnya jatuh menabrak bangku kayu.
"Makan tuh"
Rasa puas menyembur di hatiku. Ah
hahaha.. aku menang, rasakan itu perempuan sialan. Aku terus tertawa , sampai akhirnya
menyadari beberapa orang telah berlari ke arahku. Aku terkepung. Ada rasa takut saat wajah wajah
marah itu mendekat. Tangan mereka tak kosong. Balok kayu, kunci pas, bahkan
golok mereka acungkan. 'Sial, dasar orang orang barbar, beraninya keroyokan.'
"Cukup!!! " lagi lagi perempuan itu. Kulihat ia sudah berada didepanku. Entah sejak kapan. Namun sekali lagi, aku melihatnya mampu mengendalikan mereka. Seperti kejadian kemarin, saat preman preman yang menghajarku tiba tiba berhenti.
"Cukup!!! " lagi lagi perempuan itu. Kulihat ia sudah berada didepanku. Entah sejak kapan. Namun sekali lagi, aku melihatnya mampu mengendalikan mereka. Seperti kejadian kemarin, saat preman preman yang menghajarku tiba tiba berhenti.
"Tapi Umi?" Beberapa orang
dari mereka menyergahnya.
"Sudah cukup? Bukankah kalian tengah belajar untuk memaafkan? "
"Iya, tapi ini keterlaluan Umi. Kita gak rela melihat Umi disakiti manusia hina macam dia."
"Oh, jadi kalian merasa lebih terhormat, lebih mulia? Kalo memang iya, silahkan maju dan sampaikan kemarahan kalian!" Ucap perempuan itu lantang.
'Ah mungkin ini kesempatanku buat kabur.' Pikirku. Dengan cepat kuraih lehernya dari belakang. Namun, belum sempat aku menguncinya,
"Sudah cukup? Bukankah kalian tengah belajar untuk memaafkan? "
"Iya, tapi ini keterlaluan Umi. Kita gak rela melihat Umi disakiti manusia hina macam dia."
"Oh, jadi kalian merasa lebih terhormat, lebih mulia? Kalo memang iya, silahkan maju dan sampaikan kemarahan kalian!" Ucap perempuan itu lantang.
'Ah mungkin ini kesempatanku buat kabur.' Pikirku. Dengan cepat kuraih lehernya dari belakang. Namun, belum sempat aku menguncinya,
'Bruk'
Nyaris aku tak percaya. Perempuan kecil itu dengan mudahnya membantingku. Tanpa menatapku, ia kemudian berbalik dan mengucapkan maaf telah melakukan itu. Aku terdiam. Nyeri di dadaku semakin terasa. Namun diri ini tak bisa berbuat apa apa, selain mengakui kekalahannya hari ini.
Nyaris aku tak percaya. Perempuan kecil itu dengan mudahnya membantingku. Tanpa menatapku, ia kemudian berbalik dan mengucapkan maaf telah melakukan itu. Aku terdiam. Nyeri di dadaku semakin terasa. Namun diri ini tak bisa berbuat apa apa, selain mengakui kekalahannya hari ini.
Berikutnya, kudengar orang orang di sekeliling
bersorak sorai. Dengan rasa malu yang teramat sangat, aku mencoba berdiri. Namun
luka luka yang sedari tadi kutahan seolah berontak. Aku kembali ambruk. Orang
orang yang tadi hendak menghajarku segera menghampiri. Tak berdaya, kubiarkan
mereka membawaku ke bangku bambu di pinggir warung. Dalam luka, kutatap wajah
wajah itu. Tersenyum. Tak ada sedikit pun rona kebencian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar