Dunia Kecilku

Selamat datang di dunia kecilku. Dunia yang terbatas ketidakmampuan mengekspresikan semua keinginan, dunia yang hanya berupa penggalan penggalan, dan akan menjadi utuh karena kehadiranmu. :D

Cep Agus diajar nulis Headline Animator

Senin, 30 April 2012

Senja Gila

sumber gambar: http://www.dakwatuna.com
 Bagiku kau gila, Senja.
Kau singgahi rumah rumah orang tua, kau sapa dan ajak bicara, lalu berbagi apa yang kau punya,
Untuk apa? Apa yang kau dapat dari mereka?
Hanya senyuman dan tawa, kau memang gila.

Bagiku kau gila, Senja.
Kau temui anak anak jalanan, Bernyanyi dan bermain gitar di pelataran, Kau berikan mereka impian
Untuk apa? Apa yang kau dapat dari mereka?
Hanya senyuman dan tawa, kau memang gila.

Dan kau memang gila, Senja.
Kau penuhi rumah sempitmu dengan buku, lalu kau ajak anak anak kampung bermain di sana,
Kau bercerita dan mengajari mereka, tertawa dan bernyanyi bersama mereka,
Untuk apa? Apa yang kau dapat dari mereka?
Kau memang gila.

Apa kau tak mau menikmati dunia? lezatnya hamburger atau pizza?
Serunya nonton dan jalan jalan di mall mall Jakarta?
Apa kau sudah gila?
Tidak, aku selalu melihatmu bahagia.
Aku selalu melihatmu menikmati semuanya.
Duniamu selalu indah, tidak sepertiku.
Langitmu, terlalu jauh tuk kusentuh.
Aku mencintai kegilaanmu.
*puisi Adi pada Senja, bagian dari cerita ‘Menyentuh Langitmu’

Dari Sebrang Kelas

sumber: Koleksi pribadi
 Entah sejak kapan aku mulai melukiskanmu di mataku, wajahmu terpampang di setiap dinding yang membatasiku. Di papan pengumuman yang kotor oleh sobekan sobekan iklan. Di papan tulis kelas yang penuh coretan. Di bendera yang berkibar. Di atas tanah merah yang becek. Di awan kelabu di awal musim hujan ini. Kau tiba tiba saja mengganggu alunan nafasku; yang sering berhenti saat melihatmu berlalu dan berdegup kencang saat kau tersenyum kepadaku. Namun, aku terlalu pengecut untuk menyampaikan kekagumanku padamu. Aku terlalu takut kau akan berlari dari duniaku, dan mengganti tatapan lembutmu dengan kebencian. Aku takut. Bagiku lebih baik menikmati kenyamanan ini, menikmati keindahanmu dari jauh.
Seperti pagi ini, aku hanya bisa memandangmu dari seberang kelasmu berada. Saat bel istirahat berbunyi, kumenanti kau keluar dari kelasmu, berkerudung putih dengan rok panjang yang tersetrika dengan rapi. Dan saat mata ini menemukanmu, kurasakan luapan energi besar menghantam jantungku, membuatnya liar, melompat kesana kemari layaknya kelinci. Mataku pun seolah membeku, berhenti pada satu objek pasti dan mengaburkan yang lain. Kau selalu cantik di hatiku, membuatku selalu merindu dan cemburu. Saat kau bercanda bersama sahabat - sahabatmu, Aku merasa kenapa bukan aku yang duduk di sampingmu. Saat kau tertawa riang, kenapa bukan aku yang menyuguhkannya untukmu, Ah seandainya aku mampu bebas dari belenggu ini, aku akan berlari ke arahmu dan menceritakan betapa aku mengagumimu. Bukan hanya keindahan parasmu, namun juga keindahan tutur katamu, yang tak henti mengalun di kepalaku. Ah seandainya aku mampu…
“Teeet…” lamunanku pun berakhir, aku harus segera kembali ke duniaku, dan menyimpan dirimu sejenak di ruang tunggu. Aku melangkah menuju ruang kelas, dan seperti biasa saat pintu terbuka, aku disambut oleh sapaan penuh cinta,
“Selamat Siang Pak…..”

Menyentuh Langitmu

sumber gambar: http://beritaihima.com

“Seharusnya kau tak berada di sini…” Ucapnya lirih tanpa sempat memandangku. Wajahnya tetap menghadap ke depan, menatap rerumputan yang bergoyang tertiup angin sore di penghujung bulan Juli.
Masih seperti dulu, garis tegas di wajahnya menandakan ia enggan menghadapi dunia dengan keluhan. Matanya yang bulat tajam menikam kehampaan yang menyelimutinya. Ia begitu dingin kali ini, entah karena keberadaanku yang tak diinginkan, atau…
“Aku hanya ingin menemui kerinduanku, dan cukup dengan melihatmu tersenyum, aku merasa lega.”
Ucapku dengan berat.
“Bagaimana bisa kau mengucapkan kata rindu, setelah kau memintaku untuk melepaskanmu?”
Tanya nya seraya menatapku. Aku terdiam, menunduk, lalu memandang rerumputan yang terhampar tenang, menerobos waktu ke masa lalu.
“Kau seharusnya bisa memahami kepedihanku saat kau tinggalkan? Dan setelah sekian tahun aku berjuang untuk memaafkanmu, merelakan kepergianmu, kini kau tiba tiba datang lagi ke duniaku. “
Ucapnya datar, matanya kembali berpaling dariku.
“Kupikir kau mengerti….”
“Bagaimana bisa aku mengerti sesuatu yang tak kau jelaskan?” Tanyanya keras, Ia menatapku lagi, kini ada butiran kristal kecil di sudut matanya.
“Ah seandainya kau mau mendengarkan ceritaku…” ucapku lemah lalu kemudian berdiri, berniat meninggalkannya. Kupikir ia tak lagi mau mendengarkan aku.
“Ceritakanlah, aku tak punya alasan untuk tidak mendengarnya.” Ia menoleh ke arahku, seraya memintaku untuk duduk kembali.
“Tiga belas Maret 2005, itu satu minggu sebelum aku menemuimu untuk terakhir kalinya, aku mengalami pendarahan hebat di kepalaku. Sesuatu yang tak kusangka akan terjadi. Hasil pemeriksaan menunjukan ada tumor di otakku. Dokter memvonis hidupku tinggal beberapa minggu lagi. Untuk sesaat aku tersentak, sulit untuk menerima kenyataan itu, namun saat Ibuku tiba tiba memelukku sambil menangis, sementara ayahku berdiri menatapku sambil mencoba tegar, aku langsung teringat kata kata sederhanamu, ‘Sepahit apapun hidup, ia adalah anugrah yang tak semua orang bisa mencicipinya. Kecaplah dengan cinta, dan kau akan merasakan manisnya.’”
Sesaat bayangan ibu dan bapak ku saat itu melintas, aku terdiam untuk beberapa saat, sampai ia menegurku.
“Teruskanlah, aku masih mendengarkanmu.”
“Aku terbaring di sana selama lima hari. Bapak dan ibu terus menemaniku, meski aku telah meminta mereka untuk pulang. Aku mencoba menikmati semuanya, meski sulit, karena mungkin ini rasa yang baru bagiku. Dan aku selalu membayangkanmu di sana, mencoba untuk memimpikanmu, karena sebagian besar waktu kuhabisakan di alam bawah sadarku. Kau tahu, setiap kali aku bermimpi tentangmu, aku merasa hidupku terasa lebih baik. Namun maaf, aku tak mengabarimu saat itu. Aku berpikir bahwa lebih baik kau tak tau. Aku tak ingin kau merasa iba dengan hidupku, aku tak ingin melihatmu menangisi keadaanku. Dan selama itu pula aku mencoba memikirkan bagaimana cara terbaik untuk menghadapimu. Dan kau pun tahu bagaimana akhirnya.”
“Bagaimana kau bisa yakin bahwa aku akan merasa iba terhadapmu, menangisi keadaanmu?”
Tanyanya seraya menunduk. Aku menghela nafas sejenak.
“Karena aku tahu kau mencintaiku, meski sekali pun kau tak pernah mengucapkan kata itu kepadaku.”
Ia tersenyum, lalu melangkah menemui gadis kecil berrambut ikal yang berlari ke arahnya.
“Umi, apakah itu abi Syifa?” Tangannya menunjuk ke arahku.
Ia memandang lembut gadis kecil itu lalu menggeleng,
“Bukan sayang, ia bukan abi mu, ia sahabat Umi, ayo beri salam”
Gadis kecil itu menghampiriku, mencium punggung tanganku, dan kemudian menatapku dengan mata bulat ibunya. Ia bertanya.
“Paman, apa paman kenal dengan abi Syifa? Apa paman tahu dimana abi Syifa?”
‘Apa ini?’ tanyaku dalam hati, kenapa gadis kecil ini terus bertanya tentang Abi nya? Begitu rindu kah ia pada abi nya? Begitu hebatkah abi nya sehingga ia begitu ingin menemuinya?
Aku lalu menurunkan tubuhku, menatap ke dalam mata nya, dan yang kulihat adalah cahaya pengharapan dan kepolosan. Aku tak sanggup untuk melawan tatapan itu, aku pun menunduk dan menggeleng.
“Engga sayang, paman tidak mengenal Abi mu.”
Entah apa yang telah terjadi pada Senja di tahun tahun setelah kepergianku. Yang bisa kulihat saat ini, ia telah memiliki seorang putri yang entah kenapa terus bertanya tentang Abi nya. Ingin sekali aku bertanya, namun aku takut. Tentunya apa yang akan kudengar bukanlah cerita indah, dan akan sulit baginya untuk mengingat kembali luka luka yang telah mendera hidupnya.
***
“Namanya Syifa Azzahra, nama yang sengaja kuberikan karena ia mampu mengobati luka hatiku. Tawa riangnya, cerita polosnya, ataupun tingkah lakunya yang menggemaskan membuatku merasa jauh lebih mensyukuri kehidupanku. Meski mungkin orang lain yang melihatnya merasa iba, kasihan, tapi aku tidak. Aku selalu katakan padanya bahwa kau tak boleh mempertanyakan keadaanmu saat ini, karena apa yang tengah terjadi kepadamu, itulah yang terbaik buatmu.”
Aku terdiam sebentar membaca balasan e-mail darinya. Sungguh hebat, ucapku dalam hati. Ia selalu bijak menanggapi hidup, seperti dulu, saat ia mengajakku keluar dari kubangan. Aku segera memikirkan apa yang baiknya kutulis kepadanya, karena aku tak mau ia merasa terusik dengan kata-kata ku. Perlahan jariku mulai berloncatan di atas keyboard.
“Sungguh, aku masih merasa kagum dengan ketegaranmu untuk menjalani hidup. Sedikitpun kau tak menyuratkan penyesalan dalam ceritamu. Meski aku tau, ada yang hilang dari hatimu saat ini. Aku ingin sekali mendengar ceritamu, namun kau pasti mengatakan, untuk apa? Dan aku pun tak tahu untuk apa. Mungkin yang bisa kulakukan saat ini adalah mempertemukan kau dengan orang yang tengah kau rindukan, Abinya Syifa.”


Dan dengan sekali tekan, kalimat kalimat itu meluncur jauh kepadanya. Entah kapan ia akan membacanya, dan lalu membalasnya karena aku pun sempat menunggu selama beberapa hari untuk menerima balasan itu. Aku tak tau, kenapa aku sangat ingin membantunya, namun kuakui, aku masih menyimpan perasaaan cintaku padanya. Bertahun aku bertahan dalam masa masa perawatan, dengan menyimpan harapan, aku masih bisa menemuinya, dalam keadaan tersenyum dan bahagia. Namun tidak, saat ini aku melihat ada yang tengah hilang dari hidupnya, dan aku sangat ingin melihatnya bahagia. Sayang, untuk saat ini aku tak bisa menemuinya, karena ia memintaku begitu. Dan aku sangat menghargai keputusannya, ia pasti punya alas an yang baik kenapa ia memintaku begitu.
“Kuharap kau tak meminta apapun dariku atas jasa yang kau tawarkan, terutama cintaku. Karena sungguh aku sangat menghargai tawaranmu. Sudah cukup lama aku mencari cara agar aku bisa bergerak mencari Mas Tio, namun aku terhalang kewajibanku untuk menjaga Syifa. Aku tak ingin menyusahkan orang lain dengan memintanya menjaga Syifa untukku. Dan aku terlalu khawatir, bila syifa berada jauh dari sisiku.
Tak apa, akan kuceritakan tentang ia, laki laki yang kuminta kau cari. Bukan untukku, tapi untuk Syifa. Karena sekalipun ia belum pernah melihat langsung wajah Abinya. Tio Hermawan, laki laki yang kutemui sebelum dirimu, seorang rekan dan juga donatur di teater tempatku bekerja saat itu. Ia datang kepadaku beberapa minggu setelah kepergianmu. Karena aku berkali absen dari pertemuan. Ia laki laki hebat sepertimu. Dengan cepat ia memintaku untuk menjadi istrinya. Entah apa alasanku saat itu, namun aku dengan begitu saja menerima tawarannya. Kami menikah satu bulan sejak kepergianmu dan aku pun mulai belajar untuk mencintainya, meski….. Semuanya baik baik saja, sampai suatu cobaan datang kepada kami. Perusahaan tempatnya bekerja memberhentikannya karena kesalahan yang tidak diperbuatnya. Ia pun remuk dan aku pun faham dengan keadaannya.Saat itu aku mencoba untuk mengembalikannya, namun aku tak sanggup. Cintaku tak mampu membuatnya kuat, dan pada akhirnya ia pamit tanpa tahu bahwa saat itu aku tengah mengandung Syifa. Aku pun sadar, aku tak bisa membuatnya mencintaiku, dan aku pun tak mungkin bertahan dengan cintaku.
Aku terkadang merasa bersalah dengan apa yang telah terjadi kepadanya. Mungkin bila saat itu yang di sisinya adalah orang yang bisa menenangkannya, ia mungkin masih ada untuk syifa saat ini. Dan yang bisa aku lakukan untuknya adalah mendo’akannya. Semoga ia telah menemukan kebahagiaannya, meski ia kini bukan suamiku lagi, namun tetap ia adalah Ayah dari Syifa anakku.


Tak kusadari, air mataku jatuh saat aku membaca kalimat kalimat itu. Apa yang dipikirkannya. Kenapa ia justru merasa bersalah, bukan nya marah atau kecewa.
“Biar kutebak, kau pasti menangis saat ini. Aku sudah cukup mengenalmu. Tapi kurasa kau tak perlu melakukannya, karena seperti kau tahu aku paling tidak suka dikasihani. Apa yang telah terjadi kepadaku adalah sesuatu yang telah digariskan Tuhan untukku, aku hanya perlu menjalaninya dengan tetap berada di jalarNya. Oh iya, aku pun menyisipkan foto Tio, kau bisa melihatnya.
Sekali lagi terima kasih atas kesediaanmu untuk membantuku, kuharap kau menemukan sesuatu atas apa yang tengah kau lakukan saat ini.“

Sungguh pemandangan yang kulihat berikutnya membuat dadaku terasa nyeri. Ya Rabb, apalagi ini? Aku menarik nafas panjang, dan segera menuju ke sudut ruangan dimana telpon rumahku berada. Aku ingin memastikan satu hal. Tak lama setelah aku menekan beberapa nomer, panggilan ku diterima.
Assalamu’alaikum de.Aku mencoba tenang, agar tak memberi kesan mencurigakan.
“Wa’alaikum salam, ini Ka Adi ya? Apa kabar Ka? Koq tumben nelpon?” Jawab suara dari seberang sana.


Alhamdulillah de, Emh…, Mas mu ada? Kaka ada perlu.Pintaku singkat.


“Mas Tio? Ada, baru aja pulang dari kantor. Emang ada apa sih nanyain mas Tio?”
tanyanya seolah penasaran.
Ka Adi ingin menanyakan satu hal de.”


“Jadi ga mau ngasih tau nih ada apa?” Aku terdiam, tak menjawab pertanyaannya.
Ya udah, bentar ya Ka.” Aku menunggu kembali sampai akhirnya kudengar suara dari sana.
Assalamu’alaikum Ka. Apa kabar?” Kudengar Tio agak gugup. Karena memang aku jarang sekali berbicara dengan nya.
Wa’alaikum salam yo, Alhamdulillah. Bagaimana di sana? Paman sehat?” Tanyaku, kembali mencoba untuk tenang.
Alhamdulillah Ka, Kami semua sehat, malah kami punya kabar bahagia buat keluarga di Jakarta.”
Wah, apa itu?Sebenarnya aku sudah tidak sabar untuk menanyakan hal itu, namun aku tetap harus menjaga perasaannya.
Phia sekarang sedang mengandung anak pertama kami mas.”
Wah Alhamdulillahirobbil’alamin, semoga Allah menjadikan anak kalian anak yang sholeh dan penyabarAku semakin merasa tidak menentu, apakah baik menanyakan hal ini pada Tio sekarang? Apakah ini akan menjadi beban buat Tio? Lalu bagaimana dengan Phia? Putri satu satunya pamanku yang sangat aku hormati?
“Ka… halo… Ka, masih di sana?”
aku tersentak kaget, rupanya aku tadi sedikit melamun
“Oh iya, kenapa?”
Lho? Kaka ini bagaimana, tadi kan kaka yang bilang sama Phia ada perlu sama Tio. Memangnya ada apa Ka?
“Oh iya, Emh…” aku sedikit ragu. Masih merasa bimbang dengan langkah yang akan kuambil. Namun aku kembali teringat wajah Syifa.
Kalo ka Adi ada perlu sesuatu sama Tio, bilang saja ka, mungkin Tio bisa bantu.
“Bisakah kau datang ke Jakarta?” pintaku gugup.
Eh, memangnya ada apa Ka?” tanyanya. Aku pun sadar, aku belum punya alas an kenapa aku harus memintanya datang ke Jakarta.
“Kaka ingin berbicara, tapi sulit untuk menjelaskannya di telepon.”
Baiklah, tapi mungkin tidak sekarang.” Jawabannya membuatku sedikit lemas.
“Kapan kamu punya waktu senggang?”
Besok lusa, tidak apa kan?” ah untunglah masih dalam waktu dekat.
“Tak apa, terima kasih sebelumnya. Sampaikan salamku untuk keluarga di sana ya.”
Oh iya, sama sama Ka.
Semoga aku bisa menghadapinya, ucapku dalam hati. Bismillahirrahmanirrohim.
***
“Maafkan aku ka.” Tio menunduk lesu di hadapanku. Wajahnya yang basah oleh air mata tersembunyi diantara telapak tangannya. Aku merasakan penyesalan yang mendalam darinya. Aku pun tak bisa begitu saja menyalahkan, meski ada sedikit perasaan kecewa terhadapnya.
“Kau seharusnya tak meminta maaf kepadaku, dan aku pun tak marah padamu. Aku hanya memintamu menemui mereka.” Pintaku seraya memegang pundaknya.
“Bagaimana bisa aku menemuinya dalam keadaan begini Ka? Bagaimana bila ia memintaku untuk kembali kepadanya? Bagaimana dengan Phia? “ Ia menatapku dengan matanya yang merah dan basah.
“Temui saja. Kau harus ingat bahwa saat kau meninggalkan mereka, kau tak pernah memikirkan bagaimana bila suatu saat hal ini terjadi. Dan sekarang pun kau tak perlu memikirkannya. Temui saja.”
Ucapku tegas.
“Aku tak bisa Ka… aku malu.”
“Kau pasti merasa bersalah atas apa yang telah kau lakukan kepada mereka selama ini. Percayalah, Senja sedikitpun tak menyalahkanmu atas apa yang telah terjadi.”
“Tapi bagaimana Kaka tahu Senja tidak akan marah kepadaku?” tanyanya lagi, seolah tak yakin.
“Percayalah.” Jawabku sambil tersenyum. “Sekarang istirhatlah, kau pasti lelah setelah perjalanan jauhmu tadi siang.” Aku pun menuntun Tio ke kamar tamu, membiarkannya melepas lelah dan gundahnya. Sementara aku langsung memberi kabar pada Senja, bahwa kami akan menemuinya besok pagi.
***
Pagi harinya kami berangkat menuju sekolah Syifa, karena Senja memintaku untuk menemuinya di sana. Kami berencana tiba di sana tepat di saat jam bubar sekolah, agar Tio bisa langsung bertemu Syifa. Mobil kami berhenti tepat di seberang R.A. Aku membuka pintu mobil, dan meminta Tio untuk menunggu sebentar. Aku segera menyebrang jalan perumahaan yang memang tidak padat, menuju sebuah Raudhatul Athfal di mana banyak anak anak kecil berlarian dengan seragam ungu. Kulihat di belakang anak anak itu para Ibu ibu penjemput mengikuti, memperhatikan anak anak mereka. Namun, setelah beberapa lama, aku tak juga bisa menemukan Senja. Dimana dia? Aku mulai cemas.
“Paman Adi,” Kudengar suara Syifa dari belakang, ia setengah berlari ke arahku. Ia terlihat cantik dalam seragamnya yang dipadu dengan jilbab kaos putih berrenda.
“Apa paman sudah bertemu Abi Syifa?” Tanyanya setelah mencium tanganku. Aku tersenyum.
“Mana Umi?” Tanyaku sambil tetap tersenyum.
“Umi sakit paman, jadi aku pergi ke sekolah sendirian.”
“Sakit apa sayang?” Tanyaku kaget.
“Umi tidak bilang sakit apa, tapi katanya Umi hanya perlu istirahat.”
“Oh….” Syukurlah, ucapku dalam hati, kupikir Senja terkena sakit parah dan masuk rumah sakit.
“Eh iya, itu teman Paman kenapa?”
Aku menengok ke belakang, kulihat Tio kini berdiri beberapa langkah dibelakangku, matanya yang basah oleh air mata menatap Syifa. Aku menatap Syifa dan tersenyum,
“Itu Abi mu Syifa.”
Syifa membalas tatapanku seolah tak percaya dan lalu segera berlari ke arah Tio. Mereka berpelukan dalam tangis.
“Maafkan ayahmu ini Syifa. Maaf… Maafkan ayah.” Ucap Tio sambil terus memeluk Syifa.
“Tidak Abi, Syifa yang minta maaf. Syifa sama Umi belum bisa mencari Abi. Umi bilang, Syifa harus sekolah dulu. Nanti kalau sudah pinter, Syifa baru bisa cari Abi. Untung ada paman Adi yang mau bantuin Syifa nyari Abi. Jadi Syifa bisa ketemu Abi lebih cepet, engga harus nunggu Syifa jadi besar dulu.”
Kudengar tangis Tyo semakin membuncah. Entah bagaimana kau telah membesarkan anak mu selama ini Senja. Namun, aku bisa melihat bahwa kau telah menjadi Ibu yang hebat. Yang membesarkan anaknya tanpa dendam dan kebencian.
“Abi udah jangan nangis lagi, abi mestinya senyum karena udah ketmu sama syifa? Tuh lihat, Syifa aja ga nangis lagi koq?” Akhirnya Tio pun mencoba meredakan tangisnya.
“Engga sayang, abi ga sedih, abi bahagia bertemu Syifa.”
Aku beranjak dari tempatku, membiarkan Tio dan Syifa berbincang di bangku taman di depan R.A itu.
***
Dan selesailah semua, tidak sesulit dan serumit pikiranku beberapa hari yang lalu. Tio pulang dengan perasaan lega, tanpa terbebani perasaan bersalah, setelah Senja berbicara kepadanya sore itu. Aku pun kembali ke hari hari tenangku, sambil tetap menjalani perawatan atas penyakit yang tengah kuderita. Aku memang hamper telah kembali seperti dahulu, rambutku yang sempat rontok ketika menjalani kemotheraphy kini telah tumbuh kembali. Rasa nyeri dan mual yang dulu hampir kurasakan setiap detiknya kini telah hilang. Aku begitu bersyukur bahwa aku diberi kekuatan dan kepercayaan untuk tetap hidup, setidaknya untuk menemui keriduanku, Senja. Ah kuharap ia baik baik saja di sana. Aku tetap menanti kabar darinya. Setiap log-in ke akun e-mail, aku berharap mendengar satu kata darinya. Dan kesabaran itu terjawab di suatu pagi dengan sangat mengejutkan.
“Mas, nikahi aku…”
AKu nyaris tak percaya saat membacanya. Namun setelah berkali kali ku baca, itulah inti dari e-mail itu. Aku segera melarikan mobilku ke rumahnya. Aku ingin meyakinkan diriku sendir bahwa memang itulah yang ia inginkan.
“Kuharap kau tak keberatan dengan permintaanku kali ini mas.” Ucapnya lugas.
“Kau pun tahu isi hatiku saat aku menemuimu kembali sore itu. Dan tentu iya, aku mau menikahimu.”
Ia tersenyum, sementara hatiku bergemuruh, hingga menumpahkan riaknya di mataku. Segala Puji bagiMu, Ya Allah, gumanku.
Kami menikah satu minggu berikutnya, dengan amat sederhana, tanpa kemeriahan atau pesta dan hanya dihadiri oleh orangtuaku, wali dari Senja serta keluarga dekat yang ada di Jakarta. Sebetulnya orang tuaku ingin acara pernikahannya dilaksanakan dengan meriah, selain karena aku adalah anak satu satunya, juga karena mereka ingin merasakan kebahagiaan lebih saat melihatku berbahagia. Namun Senja enggan, ia pun berbicara dengan orang tuaku. Ia mengatakan bahwa kita akan lebih bahagia bila kita mampu berbagi kebahagiaan dengan orang yang lebih sulit menikmatinya. Pada akhirnya, sebagai rasa syukur kami atas pernikahan ini, kami mengunjungi beberapa panti asuhan, termasuk panti asuhan tempat Senja dulu tinggal. Setelah menikah, aku membawa Senja dan Syifa ke rumahku. Pada awalnya ia bersikukuh tak mau meninggalkan rumah bacanya, namun setelah kubujuk, ia akhirnya menuruti keinginanku, dan menitipkan rumah baca itu ke pa Mul, tetangganya. Kami tinggal ber empat di sana; aku, Senja, Syifa, dan bi Unah, pembantuku. Di rumah yang kemudian terasa seperti surga bagiku.

Dan hidup dengan mereka terlalu indah untuk diungkapkan. Aku masih ingat betul kejadian Subuh pertama setelah pernikahan kami. Aku bangun pukul 04.30 seperti biasa, adzan di masjid seberang jalan baru terdengar. Aku tak menemukan Senja istriku di sampingku. Kemana ia? Pikirku.
“Sudah bangun sayang?” ah suara terindah itu memanggilku. Rupanya Senja tengah berdiri di pinggir jendela, menikmati langit cerah di Subuh itu, dan Syifa, ia berdiri di depan Umi nya, menoleh padaku dan tersenyum. Mereka layaknya bidadari, bermukena putih dengan renda coklat tua, menatapku dengan penuh cinta.
“Abi ayo wudhu, selepas subuh, Syifa pengen cerita.”
“Cerita?” Tanyaku, sambil melirik pada Senja yang menatapku dengan mata teduhnya. Ia tersenyum lalu mengangguk pertanda iya.
Dan benar saja, sepulang dari masjid, aku menemukan Senja dan Syifa duduk berhadapan di atas sajadah. Mereka pun mengajakku duduk di samping mereka.
“Hari ini giliran Syifa yang bercerita, abi sama umi dengerin yah.”
Senja mengangguk, dan lalu menyenggolku yang terpelongo kagum melihat Syifa. Aku pun mengangguk.
“Iya sayang, abi siap dengerin.”
Tanpa aba aba, Syifa pun dengan lancarnya menceritakan tentang salah seorang temannya di Raudhatul Athfal . Aku dan Senja terhanyut oleh lembut suaranya, dan perlahan, Senja membaringkan tubuhnya di pangkuanku. ‘Ya rabb, begitu besar nikmat yang telah kau berikan padaku, Ya Rahman Ya Rahiim’ gumanku sembari memeluk Syifa dan Senja.
“Bagaimana kamu mengingkari (Allah) sedang kamu tadinya mati, kemudian dihidupkan (oleh-Nya), kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan Nya kembali, kemudian kamu dikembalikan kepada Nya.”
(Al-Baqarah : 28)
Sesaat tubuhku bergetar kala membaca terjemah Al-Qur’an tersebut di sebuah majalah. Perasaan apa ini, seolah ada kabut dingin yang menyusup masuk ke ruang kantorku yang tak ber ac, lalu membungkus tubuh ini, menyelinap melaui pori pori dan menghentikan jantungku. Ada apa ini? Pikirku. Tiba tiba saja kudengar telepon di mejaku berdering, aku menatapnya sesaat memastikan telepon itu benar benar berdering. Setelah deringan ke dua aku mengangkatnya.
Ada telepon dari rumah pak.” Ucap suara dari seberang sana.
“Sambungkan Lin.” Perasaanku langsung tak menentu, karena memang Senja tak pernah menghubungiku ke kantor selama ini.
Assalamualikum abi.” Suara lembut istriku langsung meleburkan gundahku.
“Wa’alaikum salam, sayang, ada apa nelpon abi? Kangen yah?” Candaku.
“He he, iya tapi bukan itu sayang, bisa ga Abi pulang lebih awal?”
“Wah? Emang ada apa sayang?
“Emh… bisa ga? Kalo engga juga engga apa apa?
“Ya udah, sabar ya sayang, Abi pulang sekarang.”
Aku pun segera menitipkan urusan pekerjaan kepada Linda, sekretarisku, dan langsung beranjak pulang. Di perjalanan, aku mampir ke toko bunga yang sering aku lewati, meski baru kali ini aku singgahi. Aku memang belum pernah membelikan istriku bunga. Bukannya ia tak menyukai bunga, karena di rumah ia menanam banyak macam bunga, dan menghiasi ruang ruang rumah dengan bunga bunga yang ia tanam, namun ia tak ingin aku membelikannya sesuatu yang tak begitu diperlukan. Aku begitu ingat kejadian itu. Sehari setelah menikah, aku membawakannya coklat cashew berbentuk hati, yang terbungkus rapi dalam box pink dengan hiasan pita merah. Ia memang tersenyum bahagia saat menerimanya, juga saat kami menikmatinya setelah makan malam. Namun, ia kemudian berkata ‘andai semua orang merasakan kebahagiaan yang tengah kurasakan, mungkin aku akan lebih menikmati coklat ini.’ Awalnya aku tak mengerti maksudnya, namun kemudian ia menjelaskan, bahwa saudara saudaranya di panti dan di jalanan belum bisa menikmati coklat selezat ini. Karenanya ia memintaku untuk tidak memanjakan nya dengan harta. Ia lebih ingin aku menggunakan hartanya untuk membantu mereka yang berada dalam kesulitan.
Setelah mendapatkan sekuntum bunga mawar putih, aku pun langsung menuju rumah. Aku merasakan ada yang aneh, biasanya istriku menantiku di depan sambil membaca buku. Menyambutku dan membawakan tas kerjaku, bahkan ia selalu memintaku duduk di tempat tadi ia duduk, melepaskan sepatu dan kaos kakiku. Kebiasaan yang awalnya aku tolak, karena aku tak ingin begitu direpotkan oleh istriku, namun ia memaksaku, dan menjelaskan bahwa ia hanya menjaga cintaku untuknya, dan tak ingin orang lain melakukan itu untukku. ‘Mungkin ia tengah mempersiapkan kejutan untukku.’ Pikirku dalam hati. Tanpa berlama lama, aku pun masuk dan menuju kamar.
“Sayang, sayang abi di mana?” panggilku. Namun yang kemudian menghampirku bukanlah istriku. Tapi Bi Unah.
“Maaf pa, ibu sakit, jadi….” Aku langsung tersentak, tas dan bunga mawar di tanganku jatuh begitu saja. Tanpa menunggu ma unah menyelesaikan kalimatnya, aku berlari ke arah kamar dan mendapati istriku terbaring lemah di sana. Ia menatapku dan tersenyum. Entah apa yang ia katakan selanjutnya, aku begitu panik hingga langsung menghubungi rumah sakit.
“Maaf pa, kami tidak bisa berbuat banyak.” Ucap dokter seusai ia memeriksa Senja. Kebekuan tiba tiba mengurungku, aku seolah tak mampu merasakan semuanya. Keramaian rumah sakit sian itu tiba tiba hilang, semuanya hening, dan perlahan aku merasakan kebekuan itu mencair melalui mataku. ‘ Ya Rabb… kuatkan hamba.’ Aku melihatnya, melalui jendela kaca. Ia tengah berbicara dengan Syifa sambil memegang bunga mawar putih yang tadi pagi kubelikan. Tak ada rona kesedihan di wajahnya, ia tetap tersenyum, lalu kulihat Syifa turun dari ranjang dan menghampiriku. Ia mengajakku masuk dan menemani mereka. Aku, yang masih beruraikan air mata mencoba tegar. Kuhapus sisa sisa air mataku dan mengikuti Syifa yang telah kembali ke sisi Ibunya.
“Abi, besok kan giliran abi yang bercerita. Nah, umi minta abi ceritanya sekarang. Kata umi, umi kayaknya bakal nginep di sini, jadi besok ga bisa ikutan kumpul sama kita.”
Pinta Syifa kepadaku. Permintaan sederhana yang kemudian terasa berat. Aku melirik ke arah Senja, dan ia mengangguk. Butuh waktu lama bagiku untuk mengingat apa yang harus kuceritakan saat itu, hingga Senja memintaku untuk menceritakan tentang pertemuan pertama kami. Perlahan, aku mulai menyusun gambar gambar masa lalu di kepalaku, dan menyampaikan apa yang kulihat dengan terbata bata. Suasana di ruangan itupun menjadi hangat, kami tertawa, tersenyum, mendengar kekonyolanku waktu itu. Aku terus bercerita, bercerita dan bercerita, sampai Syifa menarik narik bajuku.
“Umi dah bobo abi.” Aku melihat ke arah Senja, ia begitu tenang dalam tidurnya, dan kemudian aku tersadar ada suara beep panjang dari alat pendeteksi denyut nadi yang terletak di atas meja itu. Seolah tak percaya, aku terus menatap layar kecil yang menunjukan garis lurus berwarna merah.
‘Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roji’un…’ Aku merangkul Syifa dengan air mata yang seketika deras mengalir, Syifa seolah mengerti apa yang kumaksudkan, ia pun melepas tangisnya dalam pelukanku.
Sore itu, kami melepas Senja di pemakaman umum dekat rumah bacanya. Pemakaman yang biasanya sepi kini begitu ramai oleh orang orang yang ingin mengantarkan Senja. Aku dan Syifa berjalan berdampingan di belakang tandu dengan kepala tertunduk, menyusuri tanah merah menuju pemakaman yang dipenuhi ratusan orang. Berkali kali Syifa memintaku untuk tidak menangis, namun sulit. Sepanjang perjalanan aku hampir tak bisa menahan butiran butiran lembut yang mengalun melalui kedua mataku. Hingga aku tak diijinkan untuk membantu mengangkat tandu dari mobil jenazah. Untunglah Syifa bisa menguatkanku, hingga akhirnya aku bisa menahan air mata dan membantu prosesi pemakamannya. Aku memeluk Syifa erat erat saat Pa Mul dan rekannya menutupi jenazahnya dengan tanah. Sambil menangis aku berucap dalam hati,

“Selamat jalan Senja, terima kasih telah mengijinkanku untuk menyentuh langitmu.”

Temui Aku Satu Tahun Lagi


gambar diambil dari : http://majalahversi.com/

“Temui aku satu tahun lagi, bila engkau benar benar mencintaiku, dan ingin menjadikanku istrimu. ” Ucapnya tegas.

Aku tersentak keras atas jawabannya, seolah ada batu besar yang dijatuhkan tepat di kepalaku. Sel sel dalam otakku seolah berhenti bekerja, sehingga tak mampu menyusun kata-kata untuk menjawab permintaannya.  Senja, perempuan yang kukenal dua tahun ke belakang itu memang ‘aneh’. Tak seperti teman teman perempuan perempuan ku yang lainnya. Misterius namun apa adanya. Tegas namun ramah. Dua tahun seharusnya sudah cukup bagiku untuk memahami sikapnya, mengerti kebiasaannya hanya saja kali ini aku tak menemukan apa pun di balik kata kata nya. Apa sebenarnya yang ia inginkan? Hampir selama satu tahun ini, kami bertemu setiap hari, di depan teater seusai ia manggung atau berlatih, di rumah baca tempat ia tinggal dan menikmati hari harinya bersama anak anak kampung yang ia ajak belajar, atau kadang di acara acara pengajian yang kuakui malas kudatangi bila bukan karenanya. Lalu kenapa tiba tiba ia memintaku untuk menunggu dan bahkan tak menemuinya dalam satu tahun?

Aku terus terdiam selama beberapa langkah, dan mendadak semuanya terasa sunyi, tak kudengar suara raungan mesin mobil atau jeritan klakson. Orang orang yang berpapasan dengan kami pun layaknya manequin bergerak. Semua yang kami lewati, gedung gedung perkantoran, halte bis, pohon mahoni tua, bahkan gambar-gambar iklan di baligo seolah mentertawakan kekalahanku. Jujur, aku merasa terpojok dengan keadaan ini. Aku menoleh ke arahnya. 'Benarkah ia perempuan yang kucintai? Ah aku harus kuat, aku bisa menghadapi keadaan ini'. Aku pun mulai menyusun kata-kata dalam otak kananku, diikuti oleh bibir dan lidah yang mulai mencair.   

“Bagaimana bila aku tak mau, dan tetap menemuimu di sini?” tanyaku

“Tak apa, hanya mungkin aku akan memberikan permintaan ini kepada orang lain yang mau.”
Jawabnya tanpa berpikir lama. Ah, mungkin aku telah salah menilai sikapnya selama ini. Kupikir, aku telah menakluk kan hatinya. Rasanya ingin berhenti saja, dan meninggalkannya, namun rasa cinta ini menahanku, kau harus kuat Di, kau harus kuat.
“Lalu aku harus bagaimana bila aku merasakan rindu kepadamu?” Tanyaku lagi, sambil terus menunduk layaknya kucing liar yang kehilangan mangsanya.

“Simpanlah, belajarlah tentang kesabaran, karena mungkin setelah menikah, kita tak akan selalu bersama. Dan kita pun tak akan hidup selamanya, salah satu akan meninggalkan yang lainnya, dan hanya dengan kesabaran kita bisa mengikhlaskan semuanya.”
Aku terdiam, terpana dengan jawabannya. Senja, aku yakin, aku mencintaimu. Aku merasa sedikit lega kali ini, dan itu memudahkan kepalaku untuk menyusun pertanyaan pertanyaan berikutnya.

“Bagaimana bila saat jauh darimu, aku tertarik dengan perempuan lain?”

“Tak apa, aku mengerti, dunia ini memang penuh dengan godaan. Yang menentukan adalah apa yang akan kau lakukan selanjutnya. Di situlah kau akan belajar tentang kesetiaan. Tanpa pengawasan, apakah kau akan tetap memegang cintamu? Tanpa kekangan, apakah kau akan tetap berada di jalanmu? “
Mantap. Setiap kalimat yang tertutur darinya membuatku semakin merasa kagum, seolah ia telah mempersiapkan jawaban atas semua pertanyaanku. Aku semakin yakin, namun ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepadanya.
“Bagaimana bila salah satu dari kita tak tiba di hari itu? “ Tanyaku sambil menoleh ke arahnya. Aku sudah cukup berani untuk menatapnya kali ini.

“Kau pun sudah tau, manusia hanya bisa berencana, Tuhan lah yang pada akhirnya memberikan keputusan. Bagiku taka apa, setidaknya aku mati dalam perjuangan.”  Jawabnya tanpa membalas tatapanku. Perjuangan katanya? Yes. Ia mencintaiku, ucapku dalam hati. Kini aku punya kekuatan untuk menjalani satu tahun ke depan, meski tak bersama, namun kita akan menjalani semuanya bersama.

“Aku terima tawaranmu, dan kuharap kau tak mengingkari janjimu” kali ini ia yang terdiam seraya menghentikan langkahnya.

“Jaga dirimu baik baik, dan aku ingin berpesan satu hal padamu. Kenalilah Tuhan dan rasulmu, karena aku ingin kau lebih mencintai mereka daripada aku. Assalamu’alaikum.“ Ucapnya sambil menoleh ke arahku sebentar, dan kemudian melangkah cepat meninggalkanku.

“Wa’alaikum salam…” ucapku lemah.

Dan berlalulah ia dari hadapanku, meniti jalan kecil berbatu menuju rumah bacanya. Dari jauh kulihat ia berbalik ke arahku sebelum membuka pagar bambu yang melingkari pekarangan kecilnya. Ia tersenyum, dan kembali berjalan masuk ke rumahnya.
‘Aku kan mencoba Senja, terima kasih karena telah mengajariku bagaimana seharusnya hidup.’ Ucapku dalam hati sambil menikmati senja ter indah yang pernah terjadi dalam hidupku.