Malam merangkul, tangan
tangan gelapnya mendekap erat. Tak lantas tertebas laju motor yang kupacu tanpa
arah. Seolah tertawa. Menyaksikan ketidakberdayaan ku menghadapi dunia. Namun
aku belum mau mati. Ada cahaya kecil yang entah milik siapa. Sahabat? Kerabat?
Saudara? Entah. Aku pun tak tahu keberadaan mereka kini. Di mana mereka yang
dulu kupedulikan dan peduli terhadapku? Setiap rumah yang kuketuk selalu
kosong. Tak punya yang kuminta. Telinga tuk mendengar duka yang kubawa. Tangan
tuk membantu menahan beban yang kurasakan. Ah…Tuhan? Selalu dalam kesendirian
aku mulai mengingat Mu.
Sudah lima rumah yang kudatangi, namun aku masih sendiri di atas motor yang melaju tanpa henti. Mencoba mencari rumah ke enam, tujuh atau dua puluh. Mengingat mereka, wajah wajah yang terlupakan, dilupakan atau mungkin telah melupakanku. Empat dari lima rumah pertama adalah rumah yang dulu rumahku juga. Dulu, kami adalah The Maxim. Komunitas kampus yang mewarnai habitat dengan kilauan dan keanggunan. Sahabat dekat, kerabat bahkan sempat dianggap keluarga. Dulu. Kini tak lagi. Riza, sahabat yang dulu pernah kubawa lari ke rumah sakit saat motornya menabrak pick up hitam, memilih melepas malam bersama Shelly di Puncak. Terlanjur janji katanya. Herdy, yang dulu pernah menangis di depanku, saat uang kuliahnya nyaris habis untuk hura hura. Kemudian meminjam beberapa juta yang tak pernah ia ingat untuk mengembalikannya. Menolak untuk duduk menemaniku meski sebentar. ‘Sorry Di, gua harus latihan buat konser besok.’ Enda dan Nela pun begitu. Mereka bukannya menyuguhkan air, malah alibi tuk menolak kehadiranku.
Hanya Hendra yang
kemudian menyambutku dengan senyuman, mempersilahkan duduk, kemudian
mendengarkanku. Bahkan ia menawariku singgah. Namun aku enggan untuk berlama
lama di rumahnya. Ia pun tak mungkin kubawa ke luar. Hendra memang satu satunya
teman yang bukan berasal komunitas. Justru Tia, istrinya yang berasal dari geng
kami. The Maxim.
Hendra. Terkadang aku
merasa iba terhadapnya. Hendra terjebak cinta dan niat baiknya. Beberapa bulan
ke belakang, Tia hamil. Kami pun kehilangan jejak ayah dari janin yang terus
membesar dalam perut Tia. Terlalu banyak laki laki yang mampir dalam hidupnya.
Terlalu banyak, bahkan semuanya nyaris tak kukenali. Hanya sekilas jabat tangan
saat bertemu di diskotik, resto atau mall.
Tia ternyata tak
menerima keadaanya. Ia berulang kali mencoba menggugurkan kandungannya. Namun
semuanya gagal. Entah apa rencana Tuhan untuknya. Orang tuanya kemudian
mendatangi kami satu persatu, memohon agar mau dinikahkan dengan Tia. Namun, tak
ada satupun dari kami yang berniat jadi pahlawan. Terlebih aku. Kami tahu betul
bagaimana Tia hidup. Padahal waktu awal kami mengenalnya, dia adalah yang
paling lugu. Paling pendiam. Mungkin itu karena ia beda dari yang lainnya. Satu
satunya yang berasal dari keluarga sederhana. Datang dari kampung, dengan
kecerdasan tinggi dan wajah ayu. Kecerdasannya membuat ia dengan mudah
beradaptasi dengan komunitas kami. Ditambah wajah ayu, maka jadilah Tia seleb
mendadak di kampus kami. Puluhan laki laki rela mengantri untuk sekedar
menghabiskan 5 menit di meja kantin. Sayang, ia terlena dengan semua itu. Kami
pun kehilangan Tia pada akhir semester pertama.
Sementara Hendra, kami
mengenalnya justru setelah berita kehamilan Tia mencuat. Ia merupakan teman SMA
Tia yang rela mengajukan diri untuk menikahi Tia. Awalnya kami curiga, bahwa
Hendra lah ayah dari janin yang ada dalam perut Tia. Namun, selanjutnya kami
tahu bahwa Hendra adalah laki laki baik. Yah, setidaknya itu yang kami
simpulkan setelah tiga kali kunjungan ke rumah Tia. Ia laki laki yang rela
mencuci baju, memasak dan menyetrika untuk istrinya. Laki laki yang selalu
tersenyum meski Tia berkali melemparnya dengan peralatan dapur. Kami yang
melihatnya pun sering merasa marah dengan sikap Tia. Bahkan pada kedatangan
terakhir, Nela nyaris menampar Tia atas sikap buruknya terhadap Hendra.
Kejadian itu akhirnya menutup persahabatan kami dengan Tia. Hanya saja Hendra
yang masih aktif sebagai mahasiswa sering kami temui di selasar Masjid kampus.
Sehingga sesekali kami terlibat obrolan atau sapaan sapaan seadanya.
Ingatanku masih terus
mencari wajah yang mungkin kukenali. Rumah yang mungkin bisa kusinggahi. Namun
gelap. Putaran roda ini masih belum menemukan arahnya. Ah Tuhan, mungkin aku
harus kembali kepada Mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar