Dunia Kecilku

Selamat datang di dunia kecilku. Dunia yang terbatas ketidakmampuan mengekspresikan semua keinginan, dunia yang hanya berupa penggalan penggalan, dan akan menjadi utuh karena kehadiranmu. :D

Cep Agus diajar nulis Headline Animator

Kamis, 16 Agustus 2012

Menyentuh Langitmu: Part 5. Keluarga, Sahabat dan Tuhan

Malam merangkul, tangan tangan gelapnya mendekap erat. Tak lantas tertebas laju motor yang kupacu tanpa arah. Seolah tertawa. Menyaksikan ketidakberdayaan ku menghadapi dunia. Namun aku belum mau mati. Ada cahaya kecil yang entah milik siapa. Sahabat? Kerabat? Saudara? Entah. Aku pun tak tahu keberadaan mereka kini. Di mana mereka yang dulu kupedulikan dan peduli terhadapku? Setiap rumah yang kuketuk selalu kosong. Tak punya yang kuminta. Telinga tuk mendengar duka yang kubawa. Tangan tuk membantu menahan beban yang kurasakan. Ah…Tuhan? Selalu dalam kesendirian aku mulai mengingat Mu.


Sudah lima rumah yang kudatangi, namun aku masih sendiri di atas motor yang melaju tanpa henti. Mencoba mencari rumah ke enam, tujuh atau dua puluh. Mengingat mereka, wajah wajah yang terlupakan, dilupakan atau mungkin telah melupakanku. Empat dari lima rumah pertama adalah rumah yang dulu rumahku juga. Dulu, kami adalah The Maxim. Komunitas kampus yang mewarnai habitat dengan kilauan dan keanggunan. Sahabat dekat, kerabat bahkan sempat dianggap keluarga. Dulu. Kini tak lagi. Riza, sahabat yang dulu pernah kubawa lari ke rumah sakit saat motornya menabrak pick up hitam, memilih melepas malam bersama Shelly di Puncak. Terlanjur janji katanya. Herdy, yang dulu pernah menangis di depanku, saat uang kuliahnya nyaris habis untuk hura hura. Kemudian meminjam beberapa juta yang tak pernah ia ingat untuk mengembalikannya. Menolak untuk duduk menemaniku meski sebentar. ‘Sorry Di, gua harus latihan buat konser besok.’ Enda dan Nela pun begitu. Mereka bukannya menyuguhkan air, malah alibi tuk menolak kehadiranku. 
Hanya Hendra yang kemudian menyambutku dengan senyuman, mempersilahkan duduk, kemudian mendengarkanku. Bahkan ia menawariku singgah. Namun aku enggan untuk berlama lama di rumahnya. Ia pun tak mungkin kubawa ke luar. Hendra memang satu satunya teman yang bukan berasal komunitas. Justru Tia, istrinya yang berasal dari geng kami. The Maxim.

Hendra. Terkadang aku merasa iba terhadapnya. Hendra terjebak cinta dan niat baiknya. Beberapa bulan ke belakang, Tia hamil. Kami pun kehilangan jejak ayah dari janin yang terus membesar dalam perut Tia. Terlalu banyak laki laki yang mampir dalam hidupnya. Terlalu banyak, bahkan semuanya nyaris tak kukenali. Hanya sekilas jabat tangan saat bertemu di diskotik, resto atau mall. 

Tia ternyata tak menerima keadaanya. Ia berulang kali mencoba menggugurkan kandungannya. Namun semuanya gagal. Entah apa rencana Tuhan untuknya. Orang tuanya kemudian mendatangi kami satu persatu, memohon agar mau dinikahkan dengan Tia. Namun, tak ada satupun dari kami yang berniat jadi pahlawan. Terlebih aku. Kami tahu betul bagaimana Tia hidup. Padahal waktu awal kami mengenalnya, dia adalah yang paling lugu. Paling pendiam. Mungkin itu karena ia beda dari yang lainnya. Satu satunya yang berasal dari keluarga sederhana. Datang dari kampung, dengan kecerdasan tinggi dan wajah ayu. Kecerdasannya membuat ia dengan mudah beradaptasi dengan komunitas kami. Ditambah wajah ayu, maka jadilah Tia seleb mendadak di kampus kami. Puluhan laki laki rela mengantri untuk sekedar menghabiskan 5 menit di meja kantin. Sayang, ia terlena dengan semua itu. Kami pun kehilangan Tia pada akhir semester pertama.

Sementara Hendra, kami mengenalnya justru setelah berita kehamilan Tia mencuat. Ia merupakan teman SMA Tia yang rela mengajukan diri untuk menikahi Tia. Awalnya kami curiga, bahwa Hendra lah ayah dari janin yang ada dalam perut Tia. Namun, selanjutnya kami tahu bahwa Hendra adalah laki laki baik. Yah, setidaknya itu yang kami simpulkan setelah tiga kali kunjungan ke rumah Tia. Ia laki laki yang rela mencuci baju, memasak dan menyetrika untuk istrinya. Laki laki yang selalu tersenyum meski Tia berkali melemparnya dengan peralatan dapur. Kami yang melihatnya pun sering merasa marah dengan sikap Tia. Bahkan pada kedatangan terakhir, Nela nyaris menampar Tia atas sikap buruknya terhadap Hendra. Kejadian itu akhirnya menutup persahabatan kami dengan Tia. Hanya saja Hendra yang masih aktif sebagai mahasiswa sering kami temui di selasar Masjid kampus. Sehingga sesekali kami terlibat obrolan atau sapaan sapaan seadanya.

Ingatanku masih terus mencari wajah yang mungkin kukenali. Rumah yang mungkin bisa kusinggahi. Namun gelap. Putaran roda ini masih belum menemukan arahnya. Ah Tuhan, mungkin aku harus kembali kepada Mu.  

Tidak ada komentar: