Bangku bambu yang
terpaku rapi di depan kios rokok berderak saat kududuki. Lampu bohlam lima watt,
memancarkan cahaya remang yang dimainkan ngengat malam. Seorang laki laki tua
keluar dari dalam kios dengan nampan dan secangkir kopi panas. Asapnya
bergoyang menabrak udara di sekitarnya. Laki laki itu kemudian duduk di ujung
bangku yang lain, setelah meletakan kopi di antara kami.
Ia memulai
perbincangan dengan berita kenaikan beberapa bahan pokok menjelang Ramadhan. Obrolan yang sama sekali tak pernah kusentuh. Tak pernah kupikirkan. Pikiran ini sibuk
dengan hidupku, masalahku, sakit dan amarahku. Aku hanya menyempatkan
mengangguk dan tersenyum sekedar menghargainya. Entah ia sadar atau tidak
dengan pengabaian ku, ia terus saja bercerita.
Kesibukan itu sempat terusik
saat ia terus menyebut Ramadhan. Ah Ramadhan, waktu yang nyaris tak pernah
kuingat lagi, kecuali seremoni seremoni buka bersama yang berujung pesta, bukan
tarawih bersama. Bahkan aku tak lagi sempat menjalani puasanya. Tuhan, kenapa
aku tiba tiba merindukan Mu?
Perlahan, ia menghisap
perhatianku dengan ceritanya. Sedikit demi sedikit, sampai pada akhirnya
telinga dan kepalaku benar benar menyimaknya. Saat ia mulai membuka sisi gelap nya,
aku melihat diriku dalam dirinya. Saat ia bercerita tentang istri dan ketiga
anak yang meninggalkannya, aku melihat ayah dalam dirinya. Cerita tentang empat
tahun di jeruji besi, tentang pelarian panjang dari musuh musuhnya. Tentang
perjalanan panjangnya mencari kebahagiaan, hingga ia bertemu dengan seorang
perempuan yang mengembalikan hidupnya. Saat tiba pada bagian itu, aku melihatnya
melepas butiran penyesalan. Alirannya sempat tertahan kerutan, sebelum kemudian
menyusur menuju bibirnya yang kering. Tak lama, ia tersenyum kembali. Sambil
memuja Tuhannya, ia bersyukur karena tak menutup hidupnya dalam keterpurukan.
‘Allah itu sayang sama
kita, hanya saja kita sering kali melupakan nikmatnya.’ Ujarnya sambil terus
menghapus sisa air mata yang menggenang di pipinya.
“Oh iya, ade ini dari mana?” Matanya melirik pada tas besar yang kujejali dengan beberapa potong pakaian.
‘Deg.’Cangkir di
tanganku terhenti sebelum mencapai mulut. Jawaban apa yang harus kusampaikan?
"Kalau belum jelas mau ke mana, menginaplah di rumah Bapa." Lanjutnya. Aku melirik ke arahnya, menarik bibir, mencoba tersenyum.
"Kalau belum jelas mau ke mana, menginaplah di rumah Bapa." Lanjutnya. Aku melirik ke arahnya, menarik bibir, mencoba tersenyum.
Ia menatapku sebentar,
lalu melemparkan tawa ke angkasa, sambil menepuk pundak ku.
"Ah hahaha… tenang aja de. Bapa dulu pernah mengalaminya. Ribut ma Istri ya?" Tebaknya, asal. Aku Ikut tertawa. Yah, setidaknya aku mampu tertawa. Meski entah untuk siapa.
"Ah hahaha… tenang aja de. Bapa dulu pernah mengalaminya. Ribut ma Istri ya?" Tebaknya, asal. Aku Ikut tertawa. Yah, setidaknya aku mampu tertawa. Meski entah untuk siapa.
Tawa itu mengawali tawa tawa kami berikutnya. Dalam balutan
malam dan secangkir kopi hitam, kami menggelar cerita. Menyumpal sesal. Mengadu
rindu, rindu pada orang orang yang tertinggal
di balik malam.
***
“Bangun de, udah
Subuh.” Aku menarik jaket lebih dalam dan menggulung tubuhku lebih rapat.
‘De… bangun, udah Subuh’
Kali ini aku merasakan seseorang menggoncang goncang pundakku. Terus
menggoncang meski berulang kutepiskan. Kupaksakan membuka mata. Wajah tua itu.
Tubuh ini langsung bereaksi. Semua kantuk hilang berganti malu. Betapa tidak, ia
adalah tuan dari rumah yang kusinggahi.
“Oh iya pak… udah pagi
ya? ‘ Sambil menggosok mata aku memperhatikan wajah segarnya.
“Yuk, Sholat dulu.” Jawabnya sambil mengulurkan tangan, membantu membangunkanku.
Sholat? Jam berapa ini? Tapi aku enggan banyak bertanya. Meski sedikit pusing, aku memaksakan diri mengikutinya ke luar.
“Yuk, Sholat dulu.” Jawabnya sambil mengulurkan tangan, membantu membangunkanku.
Sholat? Jam berapa ini? Tapi aku enggan banyak bertanya. Meski sedikit pusing, aku memaksakan diri mengikutinya ke luar.
Nyaris tanpa obrolan
kami meninggalkan rumah. Rumah yang dalam mataku bukanlah rumah. Tidak lebih
luas dari kamarku. Sekitar 2 x 3 meter. Tak ada dapur . Tak ada toilet. Hanya sebuah
kamar tidur dan ruang depan yang terpisah lemari baju. Aku pun terpaksa tidur
di atas gelaran tikar di samping motor. Berbantal tas gendong berisi baju yang
lumayan empuk, aku cukup menimkati malam pertama pelarianku. Sebetulnya, pak
tua itu memaksaku tidur di atas satu satunya ranjang miliknya. Namun aku masih
punya rasa malu. Bodoh bila harus membiarkan pak tua pemilik rumah itu tidur di
tikar, sementara aku enak enak kan tidur di kasur. Aku pun sempat heran kenapa
ia begitu baik. Begitu percaya. Mengenalku pun tidak. Kami baru bertemu tadi
malam. Ah sudahlah, mungkin ia berharap aku memberinya sedikit imbalan atas
kebaikannya. Ya, nanti siang akan kuberikan.
Sholat Subuh kujalani
dengan lamunan. Hanya bergerak mengikuti gerakan imam. Mulutku berguman
sekedarnya. Hanya bacaan takbir dan Aamiin yang tersisa di kepala. Itupun
karena aku masih sering mendengarnya pada acara acara ritual lainnya. Sujud
yang telah lama kutinggalkan. Do’a yang telah lama kuabaikan. Semuanya tiba
tiba saja kurindukan. Dalam kehampaan selepas sholat, aku terdiam. Ah Tuhan,
mana mungkin Engkau menyapa aku yang tak pernah lagi menyapa Mu.
4 komentar:
tulisannya keren, tp aq bacanya agak pusing karena terganggu ama background template yg terlalu rame. Maap ya mas agak protes coz kenyamanan membacanya agak terganggu...hehehe
Oh... ^^
Gitu yah... :D
Hmmm... jadi mending template polos kali ya... woke deh, saran diterima... nuhun pisan... ^^
makasih atensinya ya mas, coba deh mas Agus perhatikan dan amati para template blogger senior, rata2 backgroundnya polos loh, karena mereka mengutamakan kenyamanan pembaca... hehe
Iya juga ya... ^^
Nuhun buat saran nya... Nuhun pisan...:D
Posting Komentar