Dunia Kecilku

Selamat datang di dunia kecilku. Dunia yang terbatas ketidakmampuan mengekspresikan semua keinginan, dunia yang hanya berupa penggalan penggalan, dan akan menjadi utuh karena kehadiranmu. :D

Cep Agus diajar nulis Headline Animator

Kamis, 23 Agustus 2012

Menyentuh Langitmu : Part 6. Aku, Pak Tua, dan Tuhan

Bangku bambu yang terpaku rapi di depan kios rokok berderak saat kududuki. Lampu bohlam lima watt, memancarkan cahaya remang yang dimainkan ngengat malam. Seorang laki laki tua keluar dari dalam kios dengan nampan dan secangkir kopi panas. Asapnya bergoyang menabrak udara di sekitarnya. Laki laki itu kemudian duduk di ujung bangku yang lain, setelah meletakan kopi di antara kami. 


Ia memulai perbincangan dengan berita kenaikan beberapa bahan pokok menjelang Ramadhan. Obrolan yang sama sekali tak pernah kusentuh. Tak pernah kupikirkan. Pikiran ini sibuk dengan hidupku, masalahku, sakit dan amarahku. Aku hanya menyempatkan mengangguk dan tersenyum sekedar menghargainya. Entah ia sadar atau tidak dengan pengabaian ku, ia terus saja bercerita. 

Kesibukan itu sempat terusik saat ia terus menyebut Ramadhan. Ah Ramadhan, waktu yang nyaris tak pernah kuingat lagi, kecuali seremoni seremoni buka bersama yang berujung pesta, bukan tarawih bersama. Bahkan aku tak lagi sempat menjalani puasanya. Tuhan, kenapa aku tiba tiba merindukan Mu?

Perlahan, ia menghisap perhatianku dengan ceritanya. Sedikit demi sedikit, sampai pada akhirnya telinga dan kepalaku benar benar menyimaknya. Saat ia mulai membuka sisi gelap nya, aku melihat diriku dalam dirinya. Saat ia bercerita tentang istri dan ketiga anak yang meninggalkannya, aku melihat ayah dalam dirinya. Cerita tentang empat tahun di jeruji besi, tentang pelarian panjang dari musuh musuhnya. Tentang perjalanan panjangnya mencari kebahagiaan, hingga ia bertemu dengan seorang perempuan yang mengembalikan hidupnya. Saat tiba pada bagian itu, aku melihatnya melepas butiran penyesalan. Alirannya sempat tertahan kerutan, sebelum kemudian menyusur menuju bibirnya yang kering. Tak lama, ia tersenyum kembali. Sambil memuja Tuhannya, ia bersyukur karena tak menutup hidupnya dalam keterpurukan. 

‘Allah itu sayang sama kita, hanya saja kita sering kali melupakan nikmatnya.’ Ujarnya sambil terus menghapus sisa air mata yang menggenang di pipinya.

“Oh iya, ade ini dari mana?” Matanya melirik pada tas besar yang kujejali dengan beberapa potong pakaian.
‘Deg.’Cangkir di tanganku terhenti sebelum mencapai mulut. Jawaban apa yang harus kusampaikan?
"Kalau belum jelas mau ke mana, menginaplah di rumah Bapa." Lanjutnya. Aku melirik ke arahnya, menarik bibir, mencoba tersenyum.
Ia menatapku sebentar, lalu melemparkan tawa ke angkasa, sambil menepuk pundak ku.
"Ah hahaha… tenang aja de. Bapa dulu pernah mengalaminya. Ribut ma Istri ya?" Tebaknya, asal. Aku Ikut tertawa. Yah, setidaknya aku mampu tertawa. Meski entah untuk siapa. 

Tawa itu mengawali tawa tawa kami berikutnya. Dalam balutan malam dan secangkir kopi hitam, kami menggelar cerita. Menyumpal sesal. Mengadu  rindu, rindu pada orang orang yang tertinggal di balik malam.  
***
“Bangun de, udah Subuh.” Aku menarik jaket lebih dalam dan menggulung tubuhku lebih rapat.
‘De… bangun, udah Subuh’ Kali ini aku merasakan seseorang menggoncang goncang pundakku. Terus menggoncang meski berulang kutepiskan. Kupaksakan membuka mata. Wajah tua itu. Tubuh ini langsung bereaksi. Semua kantuk hilang berganti malu. Betapa tidak, ia adalah tuan dari rumah yang kusinggahi. 

“Oh iya pak… udah pagi ya? ‘ Sambil menggosok mata aku memperhatikan wajah segarnya.
“Yuk, Sholat dulu.” Jawabnya sambil mengulurkan tangan, membantu membangunkanku.
Sholat? Jam berapa ini? Tapi aku enggan banyak bertanya. Meski sedikit pusing, aku memaksakan diri mengikutinya ke luar.

Nyaris tanpa obrolan kami meninggalkan rumah. Rumah yang dalam mataku bukanlah rumah. Tidak lebih luas dari kamarku. Sekitar 2 x 3 meter. Tak ada dapur . Tak ada toilet. Hanya sebuah kamar tidur dan ruang depan yang terpisah lemari baju. Aku pun terpaksa tidur di atas gelaran tikar di samping motor. Berbantal tas gendong berisi baju yang lumayan empuk, aku cukup menimkati malam pertama pelarianku. Sebetulnya, pak tua itu memaksaku tidur di atas satu satunya ranjang miliknya. Namun aku masih punya rasa malu. Bodoh bila harus membiarkan pak tua pemilik rumah itu tidur di tikar, sementara aku enak enak kan tidur di kasur. Aku pun sempat heran kenapa ia begitu baik. Begitu percaya. Mengenalku pun tidak. Kami baru bertemu tadi malam. Ah sudahlah, mungkin ia berharap aku memberinya sedikit imbalan atas kebaikannya. Ya, nanti siang akan kuberikan. 

Sholat Subuh kujalani dengan lamunan. Hanya bergerak mengikuti gerakan imam. Mulutku berguman sekedarnya. Hanya bacaan takbir dan Aamiin yang tersisa di kepala. Itupun karena aku masih sering mendengarnya pada acara acara ritual lainnya. Sujud yang telah lama kutinggalkan. Do’a yang telah lama kuabaikan. Semuanya tiba tiba saja kurindukan. Dalam kehampaan selepas sholat, aku terdiam. Ah Tuhan, mana mungkin Engkau menyapa aku yang tak pernah lagi menyapa Mu.

4 komentar:

Melanie Tan mengatakan...

tulisannya keren, tp aq bacanya agak pusing karena terganggu ama background template yg terlalu rame. Maap ya mas agak protes coz kenyamanan membacanya agak terganggu...hehehe

Unknown mengatakan...

Oh... ^^
Gitu yah... :D
Hmmm... jadi mending template polos kali ya... woke deh, saran diterima... nuhun pisan... ^^

Melanie Tan mengatakan...

makasih atensinya ya mas, coba deh mas Agus perhatikan dan amati para template blogger senior, rata2 backgroundnya polos loh, karena mereka mengutamakan kenyamanan pembaca... hehe

Unknown mengatakan...

Iya juga ya... ^^
Nuhun buat saran nya... Nuhun pisan...:D