Ada yang sempat terlupakan pada hari
Kamis kemarin, saat saya tengah melatih marching band, Gunawan, anak
kelas VII A, menghampiri dan memberikan sebuah buku kecil yang berisi
cerita. Dia meminta saya membaca dan memberikan komentar atas ‘novel’nya
tersebut. Saya sempat bengong, karena yang dia tulis benar benar mirip
novel, malah ada kata pengantar serta daftar isinya. Padahal dia menulis
cerita tersebut di buku saku yang kecil dan ceritanya terlalu pendek
untuk disebut novel. Namun, karena si anak tersebut mengatakan bahwa itu
adalah novel, maka saya hanya bisa mengiyakan saja.
Buku
saku milik Gunawan yang ia gunakan untuk menulis cerita petualangannya.
Pematik digunakan sebagai pembading betapa kecilnya buku tersebut.
Sayangnya,
saat itu saya tidak sempat membacanya, karena kebetulan kegiatan di
sekolah menjelang perpisahan cukup padat. Buku saku itupun terlupakan
sampai tadi pagi, saat saya melihat anak tersebut di depan kelas. Karena
tadi pagi pun saya masih harus memberikan laporan nilai ke guru guru,
akhirnya saya keluarkan buku tersebut dari tas dan saya simpan di atas
meja agar ingat untuk membaca nya. Nah, siang tadi, akhirnya saya
menyempatkan untuk membaca ‘novel’ yang berjudul ‘Perjuangan Menguak Misteri Gua Lipong’ tersebut.
Saat saya mulai membaca nya, saya tidak sempat berhenti membuka setiap halamannya, karena meski bahasanya sederhana, namun ceritanya cukup menarik. Memang anak anak se usianya dipenuhi dengan imajinasi, yang kadang terlihat lucu, polos dan konyol. Saya pun menduga bahwa pemberian nama gua Lipong pun diilhami dari gua peninggalan tentara jepang di desa ini, yang sering disebut gua nipong.
Hanya saja, saya menyesalkan bahwa cerita tersebut berbau kekerasan (kematian, pembunuhan). Saya pun tidak menyalahkan si anak tersebut, karena mungkin semua itu diilhami dari tontonan yang sering ia lihat di TV. Saya pun jadi teringat tulisan anak saya yang lain, yaitu cerpen yang berjudul Naimah. Cerpen karya anak kelas VIII ini pun cenderung berbau kekerasan. Hal yang tidak saya sadari selama ini. Pikiran saya pun berlanjut ke tulisan tulisan mereka yang lain. Terutama puisi puisi yang sempat mereka posting kan di Tulisan Barudak. Meski tidak semua, namun cinta mendominasi tema puisi mereka. Yah, saya pun tidak bisa lari dari kenyataan, bahwa anak anak sekarang cenderung lebih cepat mengenal cinta dibanding anak jaman dulu.
Yah, mungkin inilah salah satu hikmah dari mengumpulkan tulisan tulisan mereka. Saya setidaknya sedikit tahu, bagaimana karakter mereka, bagaimana pemikiran mereka tentang hidup, tentang cinta, bahkan tentang guru mereka. :D
Di luar semua itu, saya sangat bersyukur bahwa anak anak saya mulai tergerak untuk menulis, dan berharap mereka membentuk diri mereka lebih baik dengan tulisan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar