07.15 – Area Parkir Mal Cianjur
Motor yang sempat kupacu bak kuda liar melambat saat memasuki area
parkir Mal Cianjur. Wajah wajah ramah penuh senyuman menyambut keterlambatanku pagi
itu. “Lho? Yang lain mana ?” Tanyaku pada cep Au yang sejak subuh telah
memarkir motornya di sana. Rupanya aku bukanlah peserta terngaret saat itu.
Bahkan untuk menanti rekan rekan lainnya, secangkir kopi cinno sempat kunikmati
di sana. Tentu kunikmati, sebagai seseorang yang sering ngaret, diri ini sudah
divaksin untuk memahami segala bentuk keterlambatan.
07.46
– Area Parkir Mal Cianjur
“Brengkot…” Yah, akhirnya rombongan pertama mulai melenggang menuju
tempat tujuan dengan menggunakan mobil sewaan. Cep Shofi yang awalnya hendak ku
bonceng, terpaksa ikut rombongan ini, setelah Deden memberi kabar bahwa ia
tengah gelisah dalam angkot yang merayap. Keberangkatan mereka pun kami antar
dengan do’a. Cerita apa yang terjadi selama perjalanan mereka? Entahlah, namun
aku yakin mereka menikmati setiap meternya.
Rombongan ke dua berangkat dengan
menggunakan sepeda motor. Kami sempat menunggu kembali, karena cep Deden belum
juga tiba. Betapa kagetnya diri ini saat Deden dengan senyum khas menyapa dari
atas motor kesayangannya. “Den, ceunah
naek angkot?” Tanyaku geram. Cep Deden hanya tersipu sipu malu sambil menebar
kembali senyumnya. Helm yang sengaja kusiapkan untuknya pun, berakhir menggantung
pada badan jok. Hadeuh!
08.49 - Area Perkebunan Teh Gedeh
‘Klotak klotak, duk duk duk..” Si
putih terus saja berteriak saat rombongan motor kami memasuki area perkebunan.
Rupanya kehilangan dua baut di bagian sayap membuatnya gelisah saat harus
menapaki jalanan berbatu dengan kecepatan di atas 20 Km/ jam. Namun segera
kubungkam rintihannya, dan terus melaju melewati rekan rekan yang sedari tadi
hanya kubuntuti. ‘Momen ini harus diabadikan.’ Ucapku sambil tetap mencengkram
kuat stang motor. Sayang, rupanya aku tidak cukup cepat, sehingga saat baru
mengeluarkan kamera digital, kang Hadee, Kang Ariez n cep Au sudah nyamperin
sambil terus nanya “Aya naon kang?” Gubrak.
Yah untuk mengobati kekecewaan
itu akhirnya aku meminta mereka untuk berfose. Hasilnya? Lihatlah gaya kang
Hadee di atas Jup Z emas nya? Mantabh. ^^
08.56 – Area Perkebunan Teh Gedeh
Akhirnya kami tiba di pit stop
pertama, di depan kantor UKK PTP Nusantara VIII Kebun Gedeh kami berbagi cerita
perjalanan menuju ke tempat ini. Rupanya rekan rekan dari rombongan pertama
sudah tiba sejak tadi, sehingga mereka sudah terlebih dahulu menikmati sarapan
pertama mereka. Sedangkan anggota rombongan ke dua hanya bisa menikmati air
putih dan roti tawar dari cep Shofi. Nuhun
ah. ^^
Selanjutnya kami melakukan sesi narsis bersama, sekedar untuk
mengakrabkan diri dengan alam. Beberapa rekan, termasuk saya, mencoba
berpelukan dengan pohon mahoni besar yang berdiri kokoh sejak puluhan tahun
lalu. Yang lain ada yang bergaya chibi, pose bengong, hingga akhirnya sesi
narsis ditutup dengan foto bersama para akhwat sambil membentangkan bendera FLP
Cianjur.
Di sudut yang lain, rupanya para sesepuh sedang mengadakan rapat guna
mematangkan persiapan acara pelantikan. Saking seriusnya, wajah wajah itu tak
sempat melemparkan senyum saat fotografer mencoba mengabadikan momen itu. Aku
sempat berfikir, ‘Koq panitianya dikit amat? Apa sanggup menjaga kami yang
super aktif?Atau jangan jangan ada panitia bayangan? Hmm… menarik’
09.30 - Area Perkebunan Teh Gedeh
Saatnya beraksi. Dengan komando ramahnya, bu Ketu meminta para calon
anggota FLP yang akan dilantik untuk berkumpul. Beliau pun membagi kami ke
dalam 4 kelompok. Bersama neng Icha, Teh Risti dan neng Diny, aku masuk ke
dalam tim 2. Tugas pertama kami adalah menyiapkan yel yel tim. Kami hanya punya
lima menit, namun itu lebih dari cukup buat tim se kompak kami. Kurang dari 3
menit yel yel pun berhasil diramu.
“Satu satu ayo kita nulis, dua dua ayo kita nulis, tiga tiga ayo kita
nulis. Satu dua tiga, ayo kita nulis. Menulis… Istimewa.”
Sederhana memang, tapi itu cukup membuat bu Ketu mengacungkan jempol.
Kami pun diminta untuk membuat sebuah kalimat untuk diingat oleh rekan lainnya.
Agar ga ribet, tim kami pun sepakat membuat kalimat yang mudah diingat, seperti
‘Hidup itu Indah.’ ‘Hemat pangkal kaya.’ ‘Follow twitter ku ya!’ Dengan begitu
kami bisa lebih konsen pada tugas tugas lainnya. Ya, tugas kami tidak hanya
sampai di situ, tiap tim diminta untuk menemukan d
ua petunjuk yang telah disimpan panitia berupa dua pita berwarna biru
dan kuning. Pita kuning berarti kita harus menghindari jalan tersebut,
sebaliknya pita biru berarti kita harus mengikuti jalur itu.
Sekitar pukul
sepuluh, tim pertama yang dipimpin cep Shofi pun mulai berangkat. Kami bersama
dua tim lain menunggu giliran dengan mematangkan yel yel yang telah kami buat.
Selang lima belas menit, giliran tim kami. Pos pembuka langsung dihadapi Bu
Ketu. Di sana, beliau mengetes kesiapan kami dalam mengikuti prosesi pelantikan
ini. Pertama tama, kami diminta untuk menunjukkan yel yel kami. Selanjutnya
beliau menanyakan makna dari dua pita
yang harus kami temukan itu. Setelah masing masing dari kami memberikan
pendapatnya, Bu ketu memberi kesimpulan bahwa dalam hidup, kita selalu dihadapkan
pada pilihan jalan, jalan menuju ridha Nya atau jalan menuju murka Nya. Tentu,
sebagai muslim yang baik selayaknya kita tahu jalan mana yang harus kita
tempuh.
Perjalanan kami lanjutkan dengan mencari pita pita imut berwarna
kuning dan biru. Kami menyerahkan tugas mencatat dan
menghitung kepada neng Icha, sementara neng Diny, teh Resti dan aku
bertugas menemukan pita pita tersebut dan mendokumentasikan nya. Pita pertama
kami temukan terikat pada batang pohon teh. Kuning. Kami melihat sekeliling
untuk menemukan pita biru nya. Beruntung, mata rekan rekanku cukup jeli, hingga
mampu menangkap objek kecil yang tersamar di antara daun-daun jambu. Pita pita
selanjutnya lebih sulit ditemukan, bahkan kami sempat berfikir bahwa pada
beberapa tempat hanya ada satu pita yang terpasang, karena kami benar benar tak
dapat menemukannya, bahkan setelah melakukan pencarian dengan indera ke enam
kami. Benar saja, saat kami konfirmasi ke panitia, ternyata pada beberapa
tempat, pita yang disematkan hanya satu, tidak keduanya. Cappe dweeh. L
10.46 - Kompleks Perumahan Kebun Teh Gedeh
Rupanya medan yang berat cukup membuat Icha, salah seorang rekan kami
kehabisan stamina. Padahal ia sudah mencoba mempersiapkan dirinya dengan
sarapan extra. Sengatan matahari saat kami memasuki jalur kebun teh, membuat Icha
berkali harus istirahat. Teh Resti dan Neng Diny pun kemudian membantu Icha
berdiri, dan memapahnya, karena bagaimana pun Icha tetap semangat untuk
mengikuti prosesi ini sampai akhir. Melihat kondisi Icah yang semakin memburuk,
segera aku menghubungi Teh Defa, menyampaikan keadaannya. Beliau menyarankan
agar Icha beristirahat saja di pos pertama, yang lokasinya tak jauh dari tempat
kami berdiri saat itu. Alhamdulillah, di pos pertama kami bisa sedikit
beristirahat, karena tim pertama terlambat datang. Icha pun memanfaatkan
kesempatan itu untuk mengembalikan staminanya dengan menikmati roti yang neng
Diny bawa.
Menjelang Dzuhur, Kang Ariez
pun menghampiri kami untuk memberikan sedikit bimbingan sebagai bagian dari
prosesi pelantikan. Namun sebelumnya, kami diminta untuk menunjukkan yel yel
kami. Beliau pun mengetes ingatan kami dengan menanyakan kalimat yang dibuat
salah seorang rekan tim. Strategi kami untuk membuat kalimat pendek yang mudah
diingat ternyata cukup jitu. Tak ada satupun dari anggota tim kami yang salah
dalam tantangan tersebut.
Sukses di pos tersebut, satu
persatu dari kami diminta untuk menemui kang Adam. Mendapat giliran pertama, aku
mencoba menata hati agar tak gemper. Alhamdulillah, kedatanganku ternyata
disambut senyum oleh Kang Adam. Dengan ramah, beliau mengajakku menyelami
kembali maksud dan tujuan bergabung dengan FLP. Selanjutnya ia pun mengarahkan
agar aku membenahi niat, bahwa tujuan utamanya adalah syiar, berdakwah. Aku pun
hanya bisa mengucap InsyaAllah, sambil terus merenunginya.
12.04 – Jalan Setapak Menuju
Bathleem
30 Meter dari pos kang Adam, aku
terduduk di bawah naungan pohon jati mani’i, menikmati lukisan Yang Maha Kuasa sambil
menanti rekan satu tim yang tengah mendapat bimbingan. Menit menit itu kulalui
dengan melakukan diskusi pribadi tentang apa yang tengah kulakukan, tentang
hidup yang tengah kujalani, tentang keluarga yang kusayangi. Lamunanku berakhir
saat Icha ditemani neng Niza muncul. Tak lama berselang, Neng Diny dan teh
Resti pun datang. Kami melanjutkan perjalanan kami ke pos berikutnya.
Kedatangan kami di pos selanjutnya disambut ramah oleh Teh Nenden dan
Teh Nita . Mereka pun tak langsung mengetes kesiapan kami, malah menawarkan
kue kue kering yang telah mereka persiapkan sebelumnya. Inilah salah satu ospek termanis yang pernah kuikuti
selama hidup, se manis kue nastar yang kucicipi siang itu. Setelah melihat kami
cukup rileks, teh Den pun mulai melakukan interogasi pada tim Kami. Selain
mengetes yel yel dan daya ingat serta mengecek jumlah pita yang kami temukan,
beliau pun memberikan uji petik mengenai pengetahuan kami tentang FLP. Sayang,
tim kami tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan, dua dari tiga pertanyaan
tak dapat kami jawab dengan tepat. Meski begitu, teh Den tetap mengapresiasi
usaha kami untuk mengikiuti pelantikan ini. Keberadaan kami di pos ini tak berlangsung
lama, setelah Bu Ketu datang dan langsung memberi instruksi agar prosesi
dipercepat.
12.41 – Jalur Sungai menuju Bathleem
Trek yang kami tempuh selanjutnya sedikit lebih wah. Sungai yang
mengering karena kelangkaan hujan, batu batu besar, air bening yang berhenti
berlari, dinaungi puluhan spesies tumbuhan perdu. Semua mengingatkan ku akan
penjelajahan di sungai Cikadu Leutik dan Cikadu saat memancing Benteur, ngahkar, atau sekedar ngagere Lubang pada tahun tahun ke
belakang. Mataku sempat mencari ikan
yang mungkin hidup di genangan genangan air itu, namun tak mendapati apapun. Saking
asyiknya bernostalgia, tak kusadari, rekan rekan ku yang lain berada cukup jauh
di depan. ’Hap, hap, hap’ dengan gesit kakiku meloncat dari satu batu ke batu
lainnya, mencoba mengejar rekan tim ku.
Pencarian kami akan pita pita
berlanjut. Kami sempat kebingungan dalam menentukan arah, karena pada beberapa
persimpangan, kami tidak menemukan petunjuk. Akhirnya, kami memutuskan untuk
mengikuti jalur sungai. Saat menghadapi genangan air yang besar, kami naik ke
daratan, namun tetap menyusuri pinggirannya. Meski lelah, namun kulihat
semangat rekan rekan ku tak mengendur. Sedikit pun tak kudengar keluhan dari
mulut mereka. Bahkan, neng Icha yang sempat ambruk saat di kebun teh, terlihat
asyik dengan catatan nya. Setelah hampir 15 menit menyusuri angkernya trek itu,
kami berhasil tiba di Batukasur.
12.59 – Batukasur
Saat kami tiba di pos terakhir, Kang Hade ternyata masih asik bersama
tim pertama. Kami pun akhirnya menunggu di jalan masuk Batukasur. Tak lama,
rombongan cep Au dan cep Deden pun menyusul. Mereka pun akhirnya tertahan di
pintu masuk Batu Kasur. Tak ingin terlalu banyak melamun, aku membuka bungkusan
nasi goreng buatan istriku. Sayang, aku menikmatinya sendirian. Sebagian rekan
sudah menghabiskan bekalnya, sebagian tidak sempat menyiapkannya. Meski begitu,
nasi goreng tersebut habis tak bersisa, entah karena lelah atau karena memang
nikmat. Keduanya kurasa.
Tepat pada suapan terakhir, Bu
Ketu datang dan menginstruksikan agar kami semua berkumpul di hamparan Batu
besar yang terbagi oleh aliran air. Kang Hadee pun memimpin acara tersebut
dengan gaya khas nya. Semua peserta diberi kesempatan untuk menyampaikan apa
yang mereka rasakan selama mereka mengikuti kegiatan FLP termasuk kegiatan
pelantikan ini. Mungkin karena kelelahan, banyak rekan yang tak dapat
menuangkan perasaan mereka. Padahal, aku yakin mereka pun ingin mengatakan
sesuatu saat itu.
Selanjutnya, kami diminta untuk
merasakan apa yang terlihat, terdengar, tercium, terraba, atau terasa di Batukasur,
sebagai suatu bentuk kebesaran Allah SWt. Apa yang kami rasa kemudian harus
dituangkan dalam sebuah puisi dalam waktu lima menit. Ini yang aku tulis saat
itu.
Riak tawa,
air dan batu.
Air terurai,
Sebagian mengering,
Sebagian pecah menghantam,
Air terurai,
Sebagian mengering,
Sebagian pecah menghantam,
Yang menggenang sunyi,
Bosan, berlari kembali.
Batu Terdiam.
Tetap
Terdiam
Bosan, berlari kembali.
Batu Terdiam.
Tetap
Terdiam
Mungkin tak banyak yang mengerti makna tulisan yang kusebut puisi
ini, namun aku tak peduli. Semuanya tertulis berdasar rasa yang ku kecap saat
itu. Saat selesai, hampir semua rekan pun telah menyelesaikan tulisannya. Kang
Hadde kemudian memberikan kesempatan kepada kami untuk membacakannya. Permintaan
itu kami wakilkan kepada Cep Au dan neng Diny. Subhanallah, dengan keren nya
mereka membacakan puisi dalam heningnya Batukasur siang itu.
14.03 – Trek Menuju Bathleem
Perjalanan kami
ternyata tak berakhir di Batukasur. Namun kali ini, kami berjalan beriringan,
tak lagi berkelompok. Tawa suka cita berhamburan dalam setiap langkah yang kami
jejaki. Tak ada lagi keresahan mencari arah dari pita biru-kuning. Tak ada lagi
tanda tanya apa yang akan kami hadapi pada pos pos selanjutnya. Meski jalur
yang kami lewati semakin terjal, namun tak seorang pun dari kami berniat
kembali. Yah, jalur yang kami lewati memang lebih sulit kali ini. Bahkan di
beberapa titik kami harus mengikat tangan untuk membantu sebagian rekan melewati
terjalnya jalur menuju Bathleem. Meski begitu, kami tetap menikmatinya. Kami
yakin, ada pemandangan indah yang akan kami temui nantinya.
14.20 – Bathleem
Inilah pemandangan
yang tak pernah lepas dari komunitas ini. Dalam keadaan apapun, rekan rekan tak pernah melupakan Sang Maha Pencipta, Ar
Rahman, Ar Rahiim. Sungguh, hanya karena Cinta Nya lah kami bisa menikmati
keindahan Bathleem sore itu. Bu Ketu mengerti, ia membiarkan kami menikmati
dinginnya air terjun, atau sekedar mengabadikan momen cantik di depan derasnya
kucuran air terjun Bathleem. Menjelang pukul tiga, Teh Den membawa kabar yang
langsung diserbu oleh wajah wajah lelah itu. Makan. Ingin sekali rasanya
bergabung. Sayang, perut ini tak lagi punya ruang untuk menampung makanan.
Oh iya, pada kesempatan itu, cep Shofi mendapat kesempatan untuk
mendapat bimbingan langsung dari kang Hendra Veejay, wakil ketua di FLP
Provinsi, yang baru saja menerbitkan sebuah novel berjudul ‘ Suwung.’ Sayang,
karena masih ada acara dari FLP, bimbingan nya terpotong. Meski begitu, cep
Shofi cukup sumringah dengan kesempatan itu.
Kami kemudian melingkar atas instruksi Bu Ketu. Dipimpin oleh Kang
Hadee, acara ta’aruf dengan sesepuh FLP Provinsi pun dimulai sekitar pukul
15.20. Kang Wildan Nugraha, sebagai ketua FLP Provinsi Jawa Barat diberikan
kesempatan pertama. Dengan gaya kalem dan sedikit malu malu, beliau menebarkan
pengalamannya untuk kami punguti. Setelah hampir lima belas menit, giliran Kang
Hendra Veejay yang menuangi kami dengan tips dan triknya perihal FLP. Ia pun
sempat membagikan buku karangan nya kepada neng Runi yang pada kesempatan
tersebut mengajukan pertanyaan perihal kepenulisan.
Sebelum acara
ditutup, secara simbolis bu Ketu menyatakan kami lulus dalam mengikuti prosesi
pengkaderan dan disahkan sebagai anggota
FLP Cianjur. Alhamdulillah. Tak lupa, bu Ketu pun memberikan kenang kenanganan
kepada kang Wildan dan Kang Hendra sebagai sebuah apresiasi atas kesediaannya
untuk hadir dalam acara ini.
Dan Inilah kami,
anggota Forum Lingkar Pena Cianjur angkatan 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar