Dunia Kecilku

Selamat datang di dunia kecilku. Dunia yang terbatas ketidakmampuan mengekspresikan semua keinginan, dunia yang hanya berupa penggalan penggalan, dan akan menjadi utuh karena kehadiranmu. :D

Cep Agus diajar nulis Headline Animator

Senin, 10 September 2012

Rihlah ke Bathleem

Catatan Perjalanan Rihlah ke Bathlem, 25 Agustus 2012

07.15 – Area Parkir Mal Cianjur
Motor yang sempat kupacu bak kuda liar melambat saat memasuki area parkir Mal Cianjur. Wajah wajah ramah penuh senyuman menyambut keterlambatanku pagi itu. “Lho? Yang lain mana ?” Tanyaku pada cep Au yang sejak subuh telah memarkir motornya di sana. Rupanya aku bukanlah peserta terngaret saat itu. Bahkan untuk menanti rekan rekan lainnya, secangkir kopi cinno sempat kunikmati di sana. Tentu kunikmati, sebagai seseorang yang sering ngaret, diri ini sudah divaksin untuk memahami segala bentuk keterlambatan. 


07.46 – Area Parkir Mal Cianjur
Brengkot…” Yah, akhirnya rombongan pertama mulai melenggang menuju tempat tujuan dengan menggunakan mobil sewaan. Cep Shofi yang awalnya hendak ku bonceng, terpaksa ikut rombongan ini, setelah Deden memberi kabar bahwa ia tengah gelisah dalam angkot yang merayap. Keberangkatan mereka pun kami antar dengan do’a. Cerita apa yang terjadi selama perjalanan mereka? Entahlah, namun aku yakin mereka menikmati setiap meternya.
Rombongan ke dua berangkat dengan menggunakan sepeda motor. Kami sempat menunggu kembali, karena cep Deden belum juga tiba. Betapa kagetnya diri ini saat Deden dengan senyum khas menyapa dari atas motor kesayangannya. “Den, ceunah naek angkot?” Tanyaku geram. Cep Deden hanya tersipu sipu malu sambil menebar kembali senyumnya. Helm yang sengaja kusiapkan untuknya pun, berakhir menggantung pada badan jok.  Hadeuh!

08.49 - Area Perkebunan Teh Gedeh
‘Klotak klotak, duk duk duk..” Si putih terus saja berteriak saat rombongan motor kami memasuki area perkebunan. Rupanya kehilangan dua baut di bagian sayap membuatnya gelisah saat harus menapaki jalanan berbatu dengan kecepatan di atas 20 Km/ jam. Namun segera kubungkam rintihannya, dan terus melaju melewati rekan rekan yang sedari tadi hanya kubuntuti. ‘Momen ini harus diabadikan.’ Ucapku sambil tetap mencengkram kuat stang motor. Sayang, rupanya aku tidak cukup cepat, sehingga saat baru mengeluarkan kamera digital, kang Hadee, Kang Ariez n cep Au sudah nyamperin sambil terus nanya “Aya naon kang?”  Gubrak.
Yah untuk mengobati  kekecewaan itu akhirnya aku meminta mereka untuk berfose. Hasilnya? Lihatlah gaya kang Hadee di atas Jup Z emas nya? Mantabh. ^^
08.56 – Area Perkebunan Teh Gedeh
Akhirnya kami tiba di pit stop pertama, di depan kantor UKK PTP Nusantara VIII Kebun Gedeh kami berbagi cerita perjalanan menuju ke tempat ini. Rupanya rekan rekan dari rombongan pertama sudah tiba sejak tadi, sehingga mereka sudah terlebih dahulu menikmati sarapan pertama mereka. Sedangkan anggota rombongan ke dua hanya bisa menikmati air putih dan roti tawar dari cep Shofi. Nuhun ah. ^^
Selanjutnya kami melakukan sesi narsis bersama, sekedar untuk mengakrabkan diri dengan alam. Beberapa rekan, termasuk saya, mencoba berpelukan dengan pohon mahoni besar yang berdiri kokoh sejak puluhan tahun lalu. Yang lain ada yang bergaya chibi, pose bengong, hingga akhirnya sesi narsis ditutup dengan foto bersama para akhwat sambil membentangkan bendera FLP Cianjur.

Di sudut yang lain, rupanya para sesepuh sedang mengadakan rapat guna mematangkan persiapan acara pelantikan. Saking seriusnya, wajah wajah itu tak sempat melemparkan senyum saat fotografer mencoba mengabadikan momen itu. Aku sempat berfikir, ‘Koq panitianya dikit amat? Apa sanggup menjaga kami yang super aktif?Atau jangan jangan ada panitia bayangan? Hmm… menarik’

09.30 - Area Perkebunan Teh Gedeh
Saatnya beraksi. Dengan komando ramahnya, bu Ketu meminta para calon anggota FLP yang akan dilantik untuk berkumpul. Beliau pun membagi kami ke dalam 4 kelompok. Bersama neng Icha, Teh Risti dan neng Diny, aku masuk ke dalam tim 2. Tugas pertama kami adalah menyiapkan yel yel tim. Kami hanya punya lima menit, namun itu lebih dari cukup buat tim se kompak kami. Kurang dari 3 menit yel yel pun berhasil diramu.
“Satu satu ayo kita nulis, dua dua ayo kita nulis, tiga tiga ayo kita nulis. Satu dua tiga, ayo kita nulis. Menulis… Istimewa.”
Sederhana memang, tapi itu cukup membuat bu Ketu mengacungkan jempol. Kami pun diminta untuk membuat sebuah kalimat untuk diingat oleh rekan lainnya. Agar ga ribet, tim kami pun sepakat membuat kalimat yang mudah diingat, seperti ‘Hidup itu Indah.’ ‘Hemat pangkal kaya.’ ‘Follow twitter ku ya!’ Dengan begitu kami bisa lebih konsen pada tugas tugas lainnya. Ya, tugas kami tidak hanya sampai di situ, tiap tim diminta untuk menemukan d ua petunjuk yang telah disimpan panitia berupa dua pita berwarna biru dan kuning. Pita kuning berarti kita harus menghindari jalan tersebut, sebaliknya pita biru berarti kita harus mengikuti jalur itu. 

Sekitar pukul sepuluh, tim pertama yang dipimpin cep Shofi pun mulai berangkat. Kami bersama dua tim lain menunggu giliran dengan mematangkan yel yel yang telah kami buat. Selang lima belas menit, giliran tim kami. Pos pembuka langsung dihadapi Bu Ketu. Di sana, beliau mengetes kesiapan kami dalam mengikuti prosesi pelantikan ini. Pertama tama, kami diminta untuk menunjukkan yel yel kami. Selanjutnya beliau  menanyakan makna dari dua pita yang harus kami temukan itu. Setelah masing masing dari kami memberikan pendapatnya, Bu ketu memberi kesimpulan bahwa dalam hidup, kita selalu dihadapkan pada pilihan jalan, jalan menuju ridha Nya atau jalan menuju murka Nya. Tentu, sebagai muslim yang baik selayaknya kita tahu jalan mana yang harus kita tempuh. 

Perjalanan kami lanjutkan dengan mencari pita pita imut berwarna kuning dan biru. Kami menyerahkan tugas mencatat dan menghitung kepada neng Icha, sementara neng Diny, teh Resti dan aku bertugas menemukan pita pita tersebut dan mendokumentasikan nya. Pita pertama kami temukan terikat pada batang pohon teh. Kuning. Kami melihat sekeliling untuk menemukan pita biru nya. Beruntung, mata rekan rekanku cukup jeli, hingga mampu menangkap objek kecil yang tersamar di antara daun-daun jambu. Pita pita selanjutnya lebih sulit ditemukan, bahkan kami sempat berfikir bahwa pada beberapa tempat hanya ada satu pita yang terpasang, karena kami benar benar tak dapat menemukannya, bahkan setelah melakukan pencarian dengan indera ke enam kami. Benar saja, saat kami konfirmasi ke panitia, ternyata pada beberapa tempat, pita yang disematkan hanya satu, tidak keduanya. Cappe dweeh. L
10.46 - Kompleks Perumahan Kebun Teh Gedeh
Rupanya medan yang berat cukup membuat Icha, salah seorang rekan kami kehabisan stamina. Padahal ia sudah mencoba mempersiapkan dirinya dengan sarapan extra. Sengatan matahari saat kami memasuki jalur kebun teh, membuat Icha berkali harus istirahat. Teh Resti dan Neng Diny pun kemudian membantu Icha berdiri, dan memapahnya, karena bagaimana pun Icha tetap semangat untuk mengikuti prosesi ini sampai akhir. Melihat kondisi Icah yang semakin memburuk, segera aku menghubungi Teh Defa, menyampaikan keadaannya. Beliau menyarankan agar Icha beristirahat saja di pos pertama, yang lokasinya tak jauh dari tempat kami berdiri saat itu. Alhamdulillah, di pos pertama kami bisa sedikit beristirahat, karena tim pertama terlambat datang. Icha pun memanfaatkan kesempatan itu untuk mengembalikan staminanya dengan menikmati roti yang neng Diny bawa. 

Menjelang Dzuhur, Kang Ariez pun menghampiri kami untuk memberikan sedikit bimbingan sebagai bagian dari prosesi pelantikan. Namun sebelumnya, kami diminta untuk menunjukkan yel yel kami. Beliau pun mengetes ingatan kami dengan menanyakan kalimat yang dibuat salah seorang rekan tim. Strategi kami untuk membuat kalimat pendek yang mudah diingat ternyata cukup jitu. Tak ada satupun dari anggota tim kami yang salah dalam tantangan tersebut.
Sukses di pos tersebut, satu persatu dari kami diminta untuk menemui kang Adam. Mendapat giliran pertama, aku mencoba menata hati agar tak gemper. Alhamdulillah, kedatanganku ternyata disambut senyum oleh Kang Adam. Dengan ramah, beliau mengajakku menyelami kembali maksud dan tujuan bergabung dengan FLP. Selanjutnya ia pun mengarahkan agar aku membenahi niat, bahwa tujuan utamanya adalah syiar, berdakwah. Aku pun hanya bisa mengucap InsyaAllah, sambil terus merenunginya.
  12.04 – Jalan Setapak Menuju Bathleem
30 Meter dari pos kang Adam, aku terduduk di bawah naungan pohon jati mani’i,  menikmati lukisan Yang Maha Kuasa sambil menanti rekan satu tim yang tengah mendapat bimbingan. Menit menit itu kulalui dengan melakukan diskusi pribadi tentang apa yang tengah kulakukan, tentang hidup yang tengah kujalani, tentang keluarga yang kusayangi. Lamunanku berakhir saat Icha ditemani neng Niza muncul. Tak lama berselang, Neng Diny dan teh Resti pun datang. Kami melanjutkan perjalanan kami ke pos berikutnya.

Kedatangan kami di pos selanjutnya disambut ramah oleh Teh Nenden dan Teh Nita . Mereka pun tak langsung mengetes kesiapan kami, malah menawarkan kue kue kering yang telah mereka persiapkan sebelumnya. Inilah salah satu ospek termanis yang pernah kuikuti selama hidup, se manis kue nastar yang kucicipi siang itu. Setelah melihat kami cukup rileks, teh Den pun mulai melakukan interogasi pada tim Kami. Selain mengetes yel yel dan daya ingat serta mengecek jumlah pita yang kami temukan, beliau pun memberikan uji petik mengenai pengetahuan kami tentang FLP. Sayang, tim kami tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan, dua dari tiga pertanyaan tak dapat kami jawab dengan tepat. Meski begitu, teh Den tetap mengapresiasi usaha kami untuk mengikiuti pelantikan ini.  Keberadaan kami di pos ini tak berlangsung lama, setelah Bu Ketu datang dan langsung memberi instruksi agar prosesi dipercepat. 

12.41 – Jalur Sungai menuju Bathleem
Trek yang kami tempuh selanjutnya sedikit lebih wah. Sungai yang mengering karena kelangkaan hujan, batu batu besar, air bening yang berhenti berlari, dinaungi puluhan spesies tumbuhan perdu. Semua mengingatkan ku akan penjelajahan di sungai Cikadu Leutik dan Cikadu saat memancing Benteur, ngahkar, atau sekedar ngagere Lubang pada tahun tahun ke belakang. Mataku sempat mencari ikan yang mungkin hidup di genangan genangan air itu, namun tak mendapati apapun. Saking asyiknya bernostalgia, tak kusadari, rekan rekan ku yang lain berada cukup jauh di depan. ’Hap, hap, hap’ dengan gesit kakiku meloncat dari satu batu ke batu lainnya, mencoba mengejar rekan tim ku. 

Pencarian kami akan pita pita berlanjut. Kami sempat kebingungan dalam menentukan arah, karena pada beberapa persimpangan, kami tidak menemukan petunjuk. Akhirnya, kami memutuskan untuk mengikuti jalur sungai. Saat menghadapi genangan air yang besar, kami naik ke daratan, namun tetap menyusuri pinggirannya. Meski lelah, namun kulihat semangat rekan rekan ku tak mengendur. Sedikit pun tak kudengar keluhan dari mulut mereka. Bahkan, neng Icha yang sempat ambruk saat di kebun teh, terlihat asyik dengan catatan nya. Setelah hampir 15 menit menyusuri angkernya trek itu, kami berhasil tiba di Batukasur.
12.59 – Batukasur
Saat kami tiba di pos terakhir, Kang Hade ternyata masih asik bersama tim pertama. Kami pun akhirnya menunggu di jalan masuk Batukasur. Tak lama, rombongan cep Au dan cep Deden pun menyusul. Mereka pun akhirnya tertahan di pintu masuk Batu Kasur. Tak ingin terlalu banyak melamun, aku membuka bungkusan nasi goreng buatan istriku. Sayang, aku menikmatinya sendirian. Sebagian rekan sudah menghabiskan bekalnya, sebagian tidak sempat menyiapkannya. Meski begitu, nasi goreng tersebut habis tak bersisa, entah karena lelah atau karena memang nikmat. Keduanya kurasa.
Tepat pada suapan terakhir, Bu Ketu datang dan menginstruksikan agar kami semua berkumpul di hamparan Batu besar yang terbagi oleh aliran air. Kang Hadee pun memimpin acara tersebut dengan gaya khas nya. Semua peserta diberi kesempatan untuk menyampaikan apa yang mereka rasakan selama mereka mengikuti kegiatan FLP termasuk kegiatan pelantikan ini. Mungkin karena kelelahan, banyak rekan yang tak dapat menuangkan perasaan mereka. Padahal, aku yakin mereka pun ingin mengatakan sesuatu saat itu.  
Selanjutnya, kami diminta untuk merasakan apa yang terlihat, terdengar, tercium, terraba, atau terasa di Batukasur, sebagai suatu bentuk kebesaran Allah SWt. Apa yang kami rasa kemudian harus dituangkan dalam sebuah puisi dalam waktu lima menit. Ini yang aku tulis saat itu.
Riak tawa, air dan batu.

Air terurai,
Sebagian mengering,
Sebagian pecah menghantam,
Yang menggenang sunyi,
Bosan, berlari kembali.

Batu Terdiam.
Tetap
Terdiam
Mungkin tak banyak yang mengerti makna tulisan yang kusebut puisi ini, namun aku tak peduli. Semuanya tertulis berdasar rasa yang ku kecap saat itu. Saat selesai, hampir semua rekan pun telah menyelesaikan tulisannya. Kang Hadde kemudian memberikan kesempatan kepada kami untuk membacakannya. Permintaan itu kami wakilkan kepada Cep Au dan neng Diny. Subhanallah, dengan keren nya mereka membacakan puisi dalam heningnya Batukasur siang itu.

14.03 – Trek Menuju Bathleem

Perjalanan kami ternyata tak berakhir di Batukasur. Namun kali ini, kami berjalan beriringan, tak lagi berkelompok. Tawa suka cita berhamburan dalam setiap langkah yang kami jejaki. Tak ada lagi keresahan mencari arah dari pita biru-kuning. Tak ada lagi tanda tanya apa yang akan kami hadapi pada pos pos selanjutnya. Meski jalur yang kami lewati semakin terjal, namun tak seorang pun dari kami berniat kembali. Yah, jalur yang kami lewati memang lebih sulit kali ini. Bahkan di beberapa titik kami harus mengikat tangan untuk membantu sebagian rekan melewati terjalnya jalur menuju Bathleem. Meski begitu, kami tetap menikmatinya. Kami yakin, ada pemandangan indah yang akan kami temui nantinya.
 
14.20 – Bathleem

Inilah pemandangan yang tak pernah lepas dari komunitas ini. Dalam keadaan apapun, rekan rekan  tak pernah melupakan Sang Maha Pencipta, Ar Rahman, Ar Rahiim. Sungguh, hanya karena Cinta Nya lah kami bisa menikmati keindahan Bathleem sore itu. Bu Ketu mengerti, ia membiarkan kami menikmati dinginnya air terjun, atau sekedar mengabadikan momen cantik di depan derasnya kucuran air terjun Bathleem. Menjelang pukul tiga, Teh Den membawa kabar yang langsung diserbu oleh wajah wajah lelah itu. Makan. Ingin sekali rasanya bergabung. Sayang, perut ini tak lagi punya ruang untuk menampung makanan.
Oh iya, pada kesempatan itu, cep Shofi mendapat kesempatan untuk mendapat bimbingan langsung dari kang Hendra Veejay, wakil ketua di FLP Provinsi, yang baru saja menerbitkan sebuah novel berjudul ‘ Suwung.’ Sayang, karena masih ada acara dari FLP, bimbingan nya terpotong. Meski begitu, cep Shofi cukup sumringah dengan kesempatan itu. 

Kami kemudian melingkar atas instruksi Bu Ketu. Dipimpin oleh Kang Hadee, acara ta’aruf dengan sesepuh FLP Provinsi pun dimulai sekitar pukul 15.20. Kang Wildan Nugraha, sebagai ketua FLP Provinsi Jawa Barat diberikan kesempatan pertama. Dengan gaya kalem dan sedikit malu malu, beliau menebarkan pengalamannya untuk kami punguti. Setelah hampir lima belas menit, giliran Kang Hendra Veejay yang menuangi kami dengan tips dan triknya perihal FLP. Ia pun sempat membagikan buku karangan nya kepada neng Runi yang pada kesempatan tersebut mengajukan pertanyaan perihal kepenulisan. 

Sebelum acara ditutup, secara simbolis bu Ketu menyatakan kami lulus dalam mengikuti prosesi pengkaderan dan  disahkan sebagai anggota FLP Cianjur. Alhamdulillah. Tak lupa, bu Ketu pun memberikan kenang kenanganan kepada kang Wildan dan Kang Hendra sebagai sebuah apresiasi atas kesediaannya untuk hadir dalam acara ini.  





Dan Inilah kami, anggota Forum Lingkar Pena Cianjur angkatan 2012.


 
















Tidak ada komentar: