“Balik ga lo?” Tanya Andre sambil
terus mengunyah kolontong1 kiriman Bu Yanah.
“Heh? Balik? Pake apaan?” Jawab Sinta manyun.
“Heh? Balik? Pake apaan?” Jawab Sinta manyun.
“Minta anter aja ma Kang Beben,
gebetan lu itu. Hahahaha…” Jawab Andre
lagi, sambil terus berlari ke luar menyadari apa yang bakal terjadi selanjutnya.
Terlambat. Sebuah opak2
menghantam tepat ke kepalanya.
“Awas lo, lain kali piringnya yang Gua
lempar.” Ucap Sinta geram.
Ah… Sinta menghempaskan dirinya ke
sofa butut merah tua. Ia sadar, bukan
hal sulit baginya untuk membeli daging ayam atau ikan, tapi itu akan menjadi
sulit bagi rekan rekan nya. Sejak wabah flu burung dua tahun lalu melanda,
masyarakat desa ini kehilangan hampir seluruh unggasnya. Hanya beberapa warga
saja yang masih memelihara unggas, karenanya harga satu ekor ayam bisa sampai
Rp. 45.000. Harga yang cukup fantastis bagi sebagian rekannya, meski tidak bagi
Sinta. Sementara untuk mendapatkan ikan, mereka harus menunggu hari Selasa saat
penjual ikan datang berkeliling. Itupun dengan harga yang lumayan tinggi.
Parahnya kondisi jalan menuju desa ini menyebabkan pedagang menambah ongkos
distribusi barang yang bisa dibilang
wah. Ya mereka bisa saja pergi ke sungai
dan memancing ikan wader atau sidat, tapi keberadaan mereka di sini bukan
sekedar untuk bertamsya. Banyak tugas yang harus mereka selesaikan dalam waktu
satu bulan itu. Terutama penyuluhan mengenai pentingnya pendidikan.
***
“So? Gimana hasil kerja kita
seminggu ini?” Tanya Adi kalem sambil melipat sajadah hijau di hadapannya. Sinta
yang duduk di belakang Irna dan Ghea tak ambil pusing. Dia segera merogoh BB
dari balik mukenanya, sementara yang lain mulai sibuk dalam lingkarannya. Iwan membalik
netbook ke arah Adi.
“Itu hasil pendataan lima hari kemarin, Di. Masyarakat di sini memang kurang memahami pentingnya pendidikan.” Ucap Iwan, jelas.
“Iya, rata rata warga di sini hanya lulusan SD. Malah sebagian tidak menamatkan SD nya.” Tambah Andre.
“Trus, apa yang kamu dapet Sin?”
Dengan santai, Sinta mengarahkan telunjuknya ke arah Ghea.
Ghea yang sudah melepas mukenanya terlihat gregetan. Tapi cuman bisa menghela nafas melihat kelakuan rekan kerjanya itu. Diskusi berlanjut tanpa mengacuhkan Sinta. Tawa mereka terdengar hambar di telinga Sinta. Sedikit pun Sinta tak menaruh simpati pada program rekan-rekannya. Ia hanya ingin segera menutup cerita penuh deritanya di desa ini.
“Itu hasil pendataan lima hari kemarin, Di. Masyarakat di sini memang kurang memahami pentingnya pendidikan.” Ucap Iwan, jelas.
“Iya, rata rata warga di sini hanya lulusan SD. Malah sebagian tidak menamatkan SD nya.” Tambah Andre.
“Trus, apa yang kamu dapet Sin?”
Dengan santai, Sinta mengarahkan telunjuknya ke arah Ghea.
Ghea yang sudah melepas mukenanya terlihat gregetan. Tapi cuman bisa menghela nafas melihat kelakuan rekan kerjanya itu. Diskusi berlanjut tanpa mengacuhkan Sinta. Tawa mereka terdengar hambar di telinga Sinta. Sedikit pun Sinta tak menaruh simpati pada program rekan-rekannya. Ia hanya ingin segera menutup cerita penuh deritanya di desa ini.
“Ya, berarti beres. Besok semuanya
tinggal dikerjain. Ga ada yang mau disampein lagi kan?” Pungkas Adi.
Sinta yang sedari tadi anteng
dengan BB nya angkat bicara.
“Di, bisa ga kita rehat dua ato tiga hari? “ Semua pandangan langsung berbelok ke arah Sinta. Bengong.
Dengan tenang Adi menanggapi permintaan Sinta, dan mencoba meminta pendapat dari rekan rekannya yang lain. Semua nyaris tak ada yang setuju dengan pendapat Sinta. Nyaris. Hanya Andre yang nampaknya memberi sedikit dukungan.
“Kang, saya tahu kalo masyarakat di sini butuh perhatian. Butuh segala apa yang kita sebut dengan pelayanan, tapi bagaimana bisa kita melayani dengan baik kalo diri kita sendiri ga terlayani?” Ujar Sinta lantang.
“Eh n-n-neng, namanya juga di kam-kam-kam-pung, ya harus bisa nye-nye-nye-suain donk. Jangan mau e-e-e-enak sendiri.” Tergagap gagap Asep mencoba menyela.
“Benerin dulu tuh lidah baru ngomong!” Ucap Sinta lepas.
“Sinta!” Adi sontak meninggikan suaranya. Hening. Adi terlihat tak sanggup menghadapi keadaan itu. Ia meninggalkan rekan rekannya di tengah ruangan. Dalam temaramnya lampu 15 watt, mereka membisu. Mengakhiri malam sehabis tarawih dalam kesenduan.
“Di, bisa ga kita rehat dua ato tiga hari? “ Semua pandangan langsung berbelok ke arah Sinta. Bengong.
Dengan tenang Adi menanggapi permintaan Sinta, dan mencoba meminta pendapat dari rekan rekannya yang lain. Semua nyaris tak ada yang setuju dengan pendapat Sinta. Nyaris. Hanya Andre yang nampaknya memberi sedikit dukungan.
“Kang, saya tahu kalo masyarakat di sini butuh perhatian. Butuh segala apa yang kita sebut dengan pelayanan, tapi bagaimana bisa kita melayani dengan baik kalo diri kita sendiri ga terlayani?” Ujar Sinta lantang.
“Eh n-n-neng, namanya juga di kam-kam-kam-pung, ya harus bisa nye-nye-nye-suain donk. Jangan mau e-e-e-enak sendiri.” Tergagap gagap Asep mencoba menyela.
“Benerin dulu tuh lidah baru ngomong!” Ucap Sinta lepas.
“Sinta!” Adi sontak meninggikan suaranya. Hening. Adi terlihat tak sanggup menghadapi keadaan itu. Ia meninggalkan rekan rekannya di tengah ruangan. Dalam temaramnya lampu 15 watt, mereka membisu. Mengakhiri malam sehabis tarawih dalam kesenduan.
***
Matahari di penghujung bulan Juli
tahun ini seolah mendekat. Sinta benar-benar merasakan sengatannya. Menembus
kulit. Keringat mulai membasahi kerudung pelanginya. Di depan gerbang SMP
Negeri 3 Cisokan, ia berdiri sendirian. Di SMP ini, ia dan rekan-rekan baru
saja melaksanakan sosialisasi mengenai pentingnya pendidikan. Rekan rekannya
telah lima belas menit yang lalu berjalan pulang. Sinta sengaja meminta Andre
untuk segera menjemputnya. Ia tak akan tahan bila harus berjalan menapaki satu
turunan dan satu tanjakan di bawah terik mentari, dan sapuan debu dari tanah
merah yang terbakar.
Sinta bergerak mundur, menghindari
cahaya matahari yang merayap mendekati. Tenggorokannya mengering, merindukan
jus jeruk buatan bi Mar, atau minuman dingin yang selalu tersedia dalam kulkas
di rumahnya. Ingin rasanya ia berlari ke kamar teduhnya. Menghempaskan diri
pada empuknya kasur busa merah muda. Menanti Maghrib dalam buaian mimpi siang
hari. Namun yang kini terhampar di hadapannya adalah jalanan berbatu Desa
Pasirangin, beratus kilometer dari kamar tidurnya. Sinta mencoba menepis
lamunannya. Sesekali ia melirik pada jam tangan yang melingkar longgar pada
lengannya. ‘Sial, mana si Andre? Lama banget.’ Dari kejauhan matanya mulai
menangkap sepeda motor yang melaju perlahan, melewati turunan. Hatinya
melompat. ‘Yah akhirnya bisa pulang, meski bukan ke rumah.’ Saat sepeda motor
itu mendekat, senyum di wajah sinta kembali meredup.
“ Maaf neng Sinta. Saya diminta menjemput neng
sama kang Andre.” Ucap laki laki pendek besar yang wajahnya dipenuhi keringat.
“Andrenya mana?” Tanya Sinta sambil merogoh BB dari tas jinjing kulitnya.
“Sudah berangkat ke SD Kebonpala neng.”
“Andrenya mana?” Tanya Sinta sambil merogoh BB dari tas jinjing kulitnya.
“Sudah berangkat ke SD Kebonpala neng.”
Sinta menyimak tanpa menatap.
Matanya sibuk membaca layar BB nya. Tiga panggilan tak terjawab dan dua sms.
“Sorry Sin, gua ga bisa jemput. Kita langsung meluncur ke Kebonpala. Lu nyusul ya ma Kang Beben. :D”
Sinta menghela nafas. ‘Sial.’ Sungguh Ramadhan hari ke-3 terasa menyiksa bagi Sinta. Setelah nyaris tak makan sahur karena mie rebus satu satunya dimakan tikus, ia pun terpaksa mengikuti acara penyuluhan di SMP ini. Padahal di hari pertama dan ke dua, ia bisa enak-enakan tidur di pos, dengan alasan sakit.
“Sorry Sin, gua ga bisa jemput. Kita langsung meluncur ke Kebonpala. Lu nyusul ya ma Kang Beben. :D”
Sinta menghela nafas. ‘Sial.’ Sungguh Ramadhan hari ke-3 terasa menyiksa bagi Sinta. Setelah nyaris tak makan sahur karena mie rebus satu satunya dimakan tikus, ia pun terpaksa mengikuti acara penyuluhan di SMP ini. Padahal di hari pertama dan ke dua, ia bisa enak-enakan tidur di pos, dengan alasan sakit.
Laju motor 110 cc itu terasa berat.
Terlebih saat mereka menapaki jalan terjal tanah merah yang bertahtakan batu
koral besar tak beraturan. Seiring laju roda, deretan rumah warga semakin
jarang terlihat, diganti dengan barisan pohon jengjen, jati, dan cengkeh.
Sesekali Sinta mendengar nyanyian tongeret dan ciblek dari balik pohon-pohon
yang terlewati. Ia lebih menikmati semua itu daripada mendengar dongeng Kang
Beben tentang desa ini. Desa yang telah memenjarakannya dari mall-mall Jakarta
yang megah. Dari es krim cone stroberi vannila dengan taburan coklat Swiss. Dari
jalanan lenggang seusai jam 10 malam.
Sudah hampir setengah jam Sinta terduduk pada jok motor yang keras itu. Matanya mulai jenuh dengan barisan pohon-pohon jengjen, jati, maupun cengkeh. Nyanyian tongeret kini terasa mengganggu telinganya. Dalam kehampaan, Sinta merasakan motor yang ditumpanginya melambat. ‘Ini kan hutan, jangan jangan?’ pikir Sinta cemas. Kecemasannya semakin menjadi ketika motor benar-benar menepi. Berhenti.
“Eh, Kang Beben jangan macem-macem ya? Maju ga?” Bentak Sinta, panik.
“Bentar neng.” Ucap kang Beben sambil terus bergegas ke sebrang jalan ke arah yang telah mereka lalui. Mata Sinta mengikuti langkah kang Beben. Sinta tadi memang tak menyadari apa yang kemudian di lihatnya. Seorang anak laki-laki berseragam biru putih tengah menggendong anak perempuan di punggungnya. Anak perempuan yang mengenakan seragam SD itu terlihat tidur dalam gendongan. Tubuhnya terlihat lemas. Sementara si anak laki-laki bersusah payah menyeimbangkan gontai langkahnya. Ada perasaan malu yang mengetuk nurani Sinta saat melihat kang Beben tanpa banyak bicara segera membawa anak perempuan itu dari gendongan kakaknya.
“Neng, sebentar nya.” Ucap kang Beben sambil berlalu, setengah berlari menggendong anak perempuan itu. “Eh Jang, baturan heula si eteh eta.”3 Tambahnya dari kejauhan.
Sudah hampir setengah jam Sinta terduduk pada jok motor yang keras itu. Matanya mulai jenuh dengan barisan pohon-pohon jengjen, jati, maupun cengkeh. Nyanyian tongeret kini terasa mengganggu telinganya. Dalam kehampaan, Sinta merasakan motor yang ditumpanginya melambat. ‘Ini kan hutan, jangan jangan?’ pikir Sinta cemas. Kecemasannya semakin menjadi ketika motor benar-benar menepi. Berhenti.
“Eh, Kang Beben jangan macem-macem ya? Maju ga?” Bentak Sinta, panik.
“Bentar neng.” Ucap kang Beben sambil terus bergegas ke sebrang jalan ke arah yang telah mereka lalui. Mata Sinta mengikuti langkah kang Beben. Sinta tadi memang tak menyadari apa yang kemudian di lihatnya. Seorang anak laki-laki berseragam biru putih tengah menggendong anak perempuan di punggungnya. Anak perempuan yang mengenakan seragam SD itu terlihat tidur dalam gendongan. Tubuhnya terlihat lemas. Sementara si anak laki-laki bersusah payah menyeimbangkan gontai langkahnya. Ada perasaan malu yang mengetuk nurani Sinta saat melihat kang Beben tanpa banyak bicara segera membawa anak perempuan itu dari gendongan kakaknya.
“Neng, sebentar nya.” Ucap kang Beben sambil berlalu, setengah berlari menggendong anak perempuan itu. “Eh Jang, baturan heula si eteh eta.”3 Tambahnya dari kejauhan.
Sinta melihat anak laki laki itu
mengangguk, menghampiri dan menyalaminya. Anak itu terus saja menunduk, hingga
Sinta tak mampu menangkap wajahnya. Ia hanya melihat rambut lurus kemerahan
yang dipotong pendek. Awalnya, mereka berdua berdiri terdiam di bawah pohon
jati yang tak lagi rimbun. Tak lama, anak itu memungut dua lembar daun jati
kering dan memberikan selembar pada Sinta. Masih menunduk dan tanpa kata. Sinta
sempat berterimakasih, tapi anak itu tak membalasnya. Ia tetap menunduk.
“Itu adikmu?” Sinta mencoba mencairkan kebekuan, sambil terus duduk dengan menggunakan daun jati sebagai alasnya. Anak laki laki yang duduk di sampingnya itu mengangguk lemas.
“Itu adikmu?” Sinta mencoba mencairkan kebekuan, sambil terus duduk dengan menggunakan daun jati sebagai alasnya. Anak laki laki yang duduk di sampingnya itu mengangguk lemas.
“Kenapa? Sakit?” Kali ini
pertanyaan sinta dijawab dengan gelengan kepala. Kepalanya masih menunduk.
“Trus?” Desak Sinta, penasaran.
Anak laki laki itu tak menjawab. Tangannya malah sibuk mencari sesuatu dari
tumpukan daun jati yang berguguran.
‘Sial, gua dicuekin ma anak kecil.’
Sinta geram.Ingin rasanya ia menjewer atau menjitak anak itu. Ia pun segera
berdiri, membelakangi si anak. Ia tak ingin menunjukkan akumulasi kekecewaan
yang tengah ia rasakan saat itu. Ia mulai mengutuk, pada tikus yang memakan mie
gorengnya, pada Adi yang memaksanya untuk ikut melakukan penyuluhan, pada Andre
yang membiarkannya dijemput kang Beben, pada anak laki laki di belakangnya,
pada desa ini, pada matahari, pada semuanya. Kebenciannya seketika meluap,
membasahi matanya yang memanas.
Dalam kemarahannya itu, Sinta
merasakan seseorang menarik-narik lengan bajunya. Sinta spontan berbalik dan
membentaknya. Seketika kemarahannya mereda, saat kedua matanya mengikuti
telunjuk anak laki laki tersebut pada tulisan yang tergores pada tanah merah,
diantara tumpukan daun Jati kering.
Sinta sempat menatap wajahnya.
Tampan, bersih, meski kulitnya sedikit legam. Ia menyampaikan senyum pada Sinta
yang tengah menangis. Tak ada dendam di matanya, tak ada kemarahan atas
bentakan yang baru ia terima. Laki-laki kecil itu terus tersenyum hingga Sinta memeluknya.
Melepas tangis dalam pundak kecilnya. Mata Sinta yang terbanjiri, kembali
menatap lekat goresan pada tanah merah itu.
Teteh
maaf saya enggak bisa bicara
Esih enggak sakit. Dia kecapean jalan
karena sedang puasa. Saya tadi lihat
teteh di sekolah. Terima kasih teh
sudah mau main ke sekolah Irman.
Esih enggak sakit. Dia kecapean jalan
karena sedang puasa. Saya tadi lihat
teteh di sekolah. Terima kasih teh
sudah mau main ke sekolah Irman.
Goresan pada tanah merah itu seolah
berbisik. Menampar keras ego dan sifat apatisnya. Sinta sadar, bila bukan karena
keyakinan terhadap Allah, tak mungkin Esih tetap berpuasa hingga harus
menyusahkan kakaknya. Bila bukan karena keteguhan imannya, serta cinta terhadap
keluarganya, Irman tak akan rela menggendong adiknya saat ia sendiri tengah
berpuasa. Meski Sinta tak mampu membayangkan bagaimana Irman bisa tetap
tersenyum dengan keadaannya, tak tahu seberapa tinggi mimpi Irman, hingga rela
berjalan berkilometer di bawah sengatan matahari untuk bersekolah, namun goresan
pada tanah merah itu mengukir kenangan tersendiri baginya. Dalam deras
tangisnya, Sinta mengucap maaf dan terima kasih pada laki-laki kecil yang kini
berada dalam pelukannya. Laki laki kecil yang telah membawa pulang cinta pada
hatinya yang membatu, merindu.
Catatan kaki
1.
Sejenis kerupuk manis berbentuk persegi panjang, dengan lapisan adonan
gula di luarnya. Biasanya berwarna merah muda atau coklat, tergantung jenis
gula yang digunakan.
2.
Sejenis kerupuk berbentuk bulat yang terbuat dari ketan.
3.
Eh, nak. Tolong temani dulu kakak itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar