Dunia Kecilku

Selamat datang di dunia kecilku. Dunia yang terbatas ketidakmampuan mengekspresikan semua keinginan, dunia yang hanya berupa penggalan penggalan, dan akan menjadi utuh karena kehadiranmu. :D

Cep Agus diajar nulis Headline Animator

Rabu, 19 September 2012

Goresan Cinta pada Tanah Merah




“Balik ga lo?” Tanya Andre sambil terus mengunyah kolontong1  kiriman Bu Yanah.
“Heh? Balik? Pake apaan?” Jawab Sinta manyun.
“Minta anter aja ma Kang Beben, gebetan lu itu. Hahahaha…”  Jawab Andre lagi, sambil terus berlari ke luar menyadari apa yang bakal terjadi selanjutnya. Terlambat. Sebuah opak2 menghantam tepat ke kepalanya.
 “Awas lo, lain kali piringnya yang Gua lempar.”  Ucap Sinta geram.
Sinta melanjutkan manyunnya, membiarkan Andre menikmati tawa di luar pos.  Sudah hampir satu minggu Sinta dan ke tujuh temannya terjebak di Pasir Hideung, desa tempatnya melaksanakan KKP. Lokasi desa yang terpencil membuat Sinta dan teman temannya berjuang keras untuk menyesuaikan diri di sana. Sinta mencoba mengenyahkan kekusutan pikirannya yang terus mencari tahu bagaimana dia akan melewati 22 hari yang tersisa di sini. Belum lagi besok ia harus menjalani puasa pertamanya di Ramadhan tahun ini. Ia tak sanggup membayangkan bagaimana ia bisa makan sahur , sementara di hari hari biasa pun lidahnya kesulitan untuk menyesuaikan dengan makanan di sana. Nasi yang terlalu keras. Daun singkong dan sambal hiris, ditambah jengkol dan pete.’ Tidaaakkk….’ Hatinya menjerit. Hidangan terbaik yang bisa didapatnya di sini adalah mie rebus pake telur. Itupun kalo persediaan telur di warung masih ada. Kapan lagi bisa menikmati kembali sup ayam buatan Bi Mar. Atau martabak telor Bah Kumis langganan Papa.
Ah… Sinta menghempaskan dirinya ke sofa butut merah tua. Ia  sadar, bukan hal sulit baginya untuk membeli daging ayam atau ikan, tapi itu akan menjadi sulit bagi rekan rekan nya. Sejak wabah flu burung dua tahun lalu melanda, masyarakat desa ini kehilangan hampir seluruh unggasnya. Hanya beberapa warga saja yang masih memelihara unggas, karenanya harga satu ekor ayam bisa sampai Rp. 45.000. Harga yang cukup fantastis bagi sebagian rekannya, meski tidak bagi Sinta. Sementara untuk mendapatkan ikan, mereka harus menunggu hari Selasa saat penjual ikan datang berkeliling. Itupun dengan harga yang lumayan tinggi. Parahnya kondisi jalan menuju desa ini menyebabkan pedagang menambah ongkos distribusi  barang yang bisa dibilang wah. Ya mereka bisa saja  pergi ke sungai dan memancing ikan wader atau sidat, tapi keberadaan mereka di sini bukan sekedar untuk bertamsya. Banyak tugas yang harus mereka selesaikan dalam waktu satu bulan itu. Terutama penyuluhan mengenai pentingnya pendidikan.
***
“So? Gimana hasil kerja kita seminggu ini?” Tanya Adi kalem sambil melipat sajadah hijau di hadapannya. Sinta yang duduk di belakang Irna dan Ghea tak ambil pusing. Dia segera merogoh BB dari balik mukenanya, sementara yang lain mulai sibuk dalam lingkarannya. Iwan membalik netbook ke arah Adi.
“Itu hasil pendataan lima hari kemarin, Di. Masyarakat di sini memang kurang memahami pentingnya pendidikan.” Ucap Iwan, jelas.
“Iya, rata rata warga di sini hanya lulusan SD. Malah sebagian tidak menamatkan SD nya.” Tambah Andre.
“Trus, apa yang kamu dapet Sin?”
Dengan santai, Sinta mengarahkan telunjuknya ke arah Ghea.
Ghea yang sudah melepas mukenanya terlihat gregetan. Tapi cuman bisa menghela nafas melihat kelakuan rekan kerjanya itu. Diskusi berlanjut tanpa mengacuhkan Sinta. Tawa mereka terdengar hambar di telinga Sinta. Sedikit pun Sinta tak menaruh simpati pada program rekan-rekannya. Ia hanya ingin segera menutup cerita penuh deritanya di desa ini.
“Ya, berarti beres. Besok semuanya tinggal dikerjain. Ga ada yang mau disampein lagi kan?” Pungkas Adi.
Sinta yang sedari tadi anteng dengan BB nya angkat bicara.
“Di, bisa ga kita rehat dua ato tiga hari? “ Semua pandangan langsung berbelok ke arah Sinta. Bengong.
Dengan tenang Adi menanggapi permintaan Sinta, dan mencoba meminta pendapat dari rekan rekannya yang lain. Semua nyaris tak ada yang setuju dengan pendapat Sinta. Nyaris. Hanya Andre yang nampaknya memberi sedikit dukungan.
“Kang, saya tahu kalo masyarakat di sini butuh perhatian. Butuh segala apa yang kita sebut dengan pelayanan, tapi bagaimana bisa kita melayani dengan baik kalo diri kita sendiri ga terlayani?” Ujar Sinta lantang.
“Eh n-n-neng, namanya juga di kam-kam-kam-pung, ya harus bisa nye-nye-nye-suain donk. Jangan mau e-e-e-enak sendiri.” Tergagap gagap Asep mencoba menyela.
“Benerin dulu tuh lidah baru ngomong!” Ucap Sinta lepas.
“Sinta!” Adi sontak meninggikan suaranya. Hening. Adi terlihat tak sanggup menghadapi keadaan itu. Ia meninggalkan rekan rekannya di tengah ruangan. Dalam temaramnya lampu 15 watt, mereka membisu. Mengakhiri malam sehabis tarawih dalam kesenduan.
***
Matahari di penghujung bulan Juli tahun ini seolah mendekat. Sinta benar-benar merasakan sengatannya. Menembus kulit. Keringat mulai membasahi kerudung pelanginya. Di depan gerbang SMP Negeri 3 Cisokan, ia berdiri sendirian. Di SMP ini, ia dan rekan-rekan baru saja melaksanakan sosialisasi mengenai pentingnya pendidikan. Rekan rekannya telah lima belas menit yang lalu berjalan pulang. Sinta sengaja meminta Andre untuk segera menjemputnya. Ia tak akan tahan bila harus berjalan menapaki satu turunan dan satu tanjakan di bawah terik mentari, dan sapuan debu dari tanah merah yang terbakar.  
Sinta bergerak mundur, menghindari cahaya matahari yang merayap mendekati. Tenggorokannya mengering, merindukan jus jeruk buatan bi Mar, atau minuman dingin yang selalu tersedia dalam kulkas di rumahnya. Ingin rasanya ia berlari ke kamar teduhnya. Menghempaskan diri pada empuknya kasur busa merah muda. Menanti Maghrib dalam buaian mimpi siang hari. Namun yang kini terhampar di hadapannya adalah jalanan berbatu Desa Pasirangin, beratus kilometer dari kamar tidurnya. Sinta mencoba menepis lamunannya. Sesekali ia melirik pada jam tangan yang melingkar longgar pada lengannya. ‘Sial, mana si Andre? Lama banget.’ Dari kejauhan matanya mulai menangkap sepeda motor yang melaju perlahan, melewati turunan. Hatinya melompat. ‘Yah akhirnya bisa pulang, meski bukan ke rumah.’ Saat sepeda motor itu mendekat, senyum di wajah sinta kembali meredup.
 “ Maaf neng Sinta. Saya diminta menjemput neng sama kang Andre.” Ucap laki laki pendek besar yang wajahnya dipenuhi keringat.
“Andrenya mana?” Tanya Sinta sambil merogoh BB dari tas jinjing kulitnya.
“Sudah berangkat ke SD Kebonpala neng.”
Sinta menyimak tanpa menatap. Matanya sibuk membaca layar BB nya. Tiga panggilan tak terjawab dan dua sms.
Sorry Sin, gua ga bisa jemput. Kita langsung meluncur ke Kebonpala. Lu nyusul ya ma Kang Beben. :D”
Sinta menghela nafas. ‘Sial.’ Sungguh Ramadhan hari ke-3 terasa menyiksa bagi Sinta. Setelah nyaris tak makan sahur karena mie rebus satu satunya dimakan tikus, ia pun terpaksa mengikuti acara penyuluhan di SMP ini. Padahal di hari pertama dan ke dua, ia bisa enak-enakan tidur di pos, dengan alasan sakit.
Laju motor 110 cc itu terasa berat. Terlebih saat mereka menapaki jalan terjal tanah merah yang bertahtakan batu koral besar tak beraturan. Seiring laju roda, deretan rumah warga semakin jarang terlihat, diganti dengan barisan pohon jengjen, jati, dan cengkeh. Sesekali Sinta mendengar nyanyian tongeret dan ciblek dari balik pohon-pohon yang terlewati. Ia lebih menikmati semua itu daripada mendengar dongeng Kang Beben tentang desa ini. Desa yang telah memenjarakannya dari mall-mall Jakarta yang megah. Dari es krim cone stroberi vannila dengan taburan coklat Swiss. Dari jalanan lenggang seusai jam 10 malam.

Sudah hampir setengah jam Sinta terduduk pada jok motor yang keras itu. Matanya mulai jenuh dengan barisan pohon-pohon jengjen, jati, maupun cengkeh. Nyanyian tongeret kini terasa mengganggu telinganya. Dalam kehampaan, Sinta merasakan motor yang ditumpanginya melambat. ‘Ini kan hutan, jangan jangan?’ pikir Sinta cemas. Kecemasannya semakin menjadi ketika motor benar-benar menepi. Berhenti.
“Eh, Kang Beben jangan macem-macem ya? Maju ga?” Bentak Sinta, panik.
“Bentar neng.” Ucap kang Beben sambil terus bergegas ke sebrang jalan ke arah yang telah mereka lalui. Mata Sinta mengikuti langkah kang Beben. Sinta tadi memang tak menyadari  apa yang kemudian di lihatnya. Seorang anak laki-laki berseragam biru putih tengah menggendong anak perempuan di punggungnya. Anak perempuan yang mengenakan seragam SD itu terlihat tidur dalam gendongan. Tubuhnya terlihat lemas. Sementara si anak laki-laki bersusah payah menyeimbangkan gontai langkahnya. Ada perasaan malu yang mengetuk nurani Sinta saat melihat kang Beben tanpa banyak bicara segera membawa anak perempuan itu dari gendongan kakaknya.
“Neng, sebentar nya.” Ucap kang Beben sambil berlalu, setengah berlari menggendong anak perempuan itu. “Eh Jang, baturan heula si eteh eta.”3 Tambahnya dari kejauhan.
Sinta melihat anak laki laki itu mengangguk, menghampiri dan menyalaminya. Anak itu terus saja menunduk, hingga Sinta tak mampu menangkap wajahnya. Ia hanya melihat rambut lurus kemerahan yang dipotong pendek. Awalnya, mereka berdua berdiri terdiam di bawah pohon jati yang tak lagi rimbun. Tak lama, anak itu memungut dua lembar daun jati kering dan memberikan selembar pada Sinta. Masih menunduk dan tanpa kata. Sinta sempat berterimakasih, tapi anak itu tak membalasnya. Ia tetap menunduk.
“Itu adikmu?” Sinta mencoba mencairkan kebekuan, sambil terus duduk dengan menggunakan daun jati sebagai alasnya. Anak laki laki yang duduk di sampingnya itu mengangguk lemas.
“Kenapa? Sakit?” Kali ini pertanyaan sinta dijawab dengan gelengan kepala. Kepalanya masih menunduk.
“Trus?” Desak Sinta, penasaran. Anak laki laki itu tak menjawab. Tangannya malah sibuk mencari sesuatu dari tumpukan daun jati yang berguguran.
‘Sial, gua dicuekin ma anak kecil.’ Sinta geram.Ingin rasanya ia menjewer atau menjitak anak itu. Ia pun segera berdiri, membelakangi si anak. Ia tak ingin menunjukkan akumulasi kekecewaan yang tengah ia rasakan saat itu. Ia mulai mengutuk, pada tikus yang memakan mie gorengnya, pada Adi yang memaksanya untuk ikut melakukan penyuluhan, pada Andre yang membiarkannya dijemput kang Beben, pada anak laki laki di belakangnya, pada desa ini, pada matahari, pada semuanya. Kebenciannya seketika meluap, membasahi matanya yang memanas.
Dalam kemarahannya itu, Sinta merasakan seseorang menarik-narik lengan bajunya. Sinta spontan berbalik dan membentaknya. Seketika kemarahannya mereda, saat kedua matanya mengikuti telunjuk anak laki laki tersebut pada tulisan yang tergores pada tanah merah, diantara tumpukan daun Jati kering.
Sinta sempat menatap wajahnya. Tampan, bersih, meski kulitnya sedikit legam. Ia menyampaikan senyum pada Sinta yang tengah menangis. Tak ada dendam di matanya, tak ada kemarahan atas bentakan yang baru ia terima. Laki-laki kecil itu terus tersenyum hingga Sinta memeluknya. Melepas tangis dalam pundak kecilnya. Mata Sinta yang terbanjiri, kembali menatap lekat goresan pada tanah merah itu. 

Teteh maaf saya enggak bisa bicara
 Esih enggak sakit. Dia kecapean jalan
 karena sedang puasa. Saya tadi lihat
 teteh di sekolah. Terima kasih teh
sudah mau main ke sekolah Irman.

Goresan pada tanah merah itu seolah berbisik. Menampar keras ego dan sifat apatisnya. Sinta sadar, bila bukan karena keyakinan terhadap Allah, tak mungkin Esih tetap berpuasa hingga harus menyusahkan kakaknya. Bila bukan karena keteguhan imannya, serta cinta terhadap keluarganya, Irman tak akan rela menggendong adiknya saat ia sendiri tengah berpuasa. Meski Sinta tak mampu membayangkan bagaimana Irman bisa tetap tersenyum dengan keadaannya, tak tahu seberapa tinggi mimpi Irman, hingga rela berjalan berkilometer di bawah sengatan matahari untuk bersekolah, namun goresan pada tanah merah itu mengukir kenangan tersendiri baginya. Dalam deras tangisnya, Sinta mengucap maaf dan terima kasih pada laki-laki kecil yang kini berada dalam pelukannya. Laki laki kecil yang telah membawa pulang cinta pada hatinya yang membatu, merindu.
Catatan kaki
1.        Sejenis kerupuk manis berbentuk persegi panjang, dengan lapisan adonan gula di luarnya. Biasanya berwarna merah muda atau coklat, tergantung jenis gula yang digunakan.
2.        Sejenis kerupuk berbentuk bulat yang terbuat dari ketan.
3.        Eh, nak. Tolong temani dulu kakak itu.

Tidak ada komentar: