Bila pemerintah
menggulirkan sebuah konsep Pendidikan Berkarakter, saya pun tak ingin
kalah dengan mengutarakan konsep saya sendiri, yaitu Pendidikan Berbasis
Cinta.
Ini bukan tentang
teori teori atau deskripsi sebuah penelitian, ini hanyalah cerita yang
saya alami dan ingin saya bagi. Sejak pertengahan Maret 2009, saya mulai
menginjak kan kaki di Desa Batulawang ini. Desa yang terletak di
Kecamatan Cibinong ini masih satu Kabupaten dengan tempat tinggal saya
di Kecamatan Cianjur, namun jaraknya lumayan jauh, yaitu sekitar 100Km. Terlebih
lokasinya yang berada di bukit, memerlukan waktu lebih lama untuk
menuju ke sini dari tempat tinggal saya. Waktu tercepat yang pernah saya
tempuh dengan motor bebek 110 cc adalah 3 Jam, namun itu hanya bisa
dilakukan saat cuaca mendukung, dan tubuh saya fit.
Jalan menuju Desa Batulawang
Keluhan sayapun
berlanjut ke ruang kelas. Bukan masalah bangunan yang bobrok atau ancur,
karena sekolah ini baru didirikan pada tahun 2008 dan bisa dikatakan
layak untuk tempat belajar, tapi lebih kepada tingkat
pendidikan anak anaknya. Tak seperti saat mengajar di kota, dimana RPP
bisa langsung saya terapkan pada proses KBM. Di sini berbagai
penyesuaian harus dilakukan, mengingat kemampuan anak dalam ber Bahasa
Inggris sangatlah minim. Bahkan, beberapa anak masih sulit untuk baca
tulis. Awalnya saya sampai mengelus dada, Koq bisa? Trus apa yang mereka pelajari selama 6 tahun di Sekolah Dasar?
Pekerjaan pun bertambah berat, saat dihadapkan pada masyarakat yang
kurang memahami pentingnya pendidikan. Pernah suatu hari, saya masuk ke
kelas dan hanya ada tiga orang siswa di sana. Saat saya tanyakan, ‘Pada kemana?’ mereka menjawab ‘Ikut manen cabe pak? ’ Hah?? Gubrak!!!
Namun, apa yang
membuat saya bertahan selama tiga tahun ini? Apa yang membuat saya
enggan untuk segera mutasi ke kota? Jawabannya Cinta. Yah, jawaban yang
sulit dibuktikan namun nyata adanya. Saya jatuh cinta pada anak anak
didik saya, pada perjuangan mereka, pada keteguhan hati mereka. Betapa
tidak, banyak dari anak anak didik saya yang harus berangkat sekolah jam
5 pagi, padahal pada jam itu saya biasanya masih tidur. Yah, jam 5 pagi
karena waktu tempuh untuk menuju sekolah dari rumahnya adalah 2 jam
berjalan kaki. 2 jam berjalan kaki? Awalnya saya pun
tidak mempercayainya, sampai suatu hari saya berkesempatan untuk
menengok anak didik yang rumahnya roboh saat terjadi gempa Tasikmalaya
tahun 2009. Atas ajakan anak anak, saya ikut berjalan kaki dengan
mereka, dan benar saja, waktu tempuhnya 2 jam, bahkan lebih, karena saya
harus meminta istirahat berkali kali. (Perjuangan mereka menjadi inspirasi saya untuk menuliskan sebuah lagu berjudul ‘Mimpi Matahari’ :D)
Pulang pergi dengan
waktu tempuh rata rata dua jam, tampaknya bukanlah hal yang paling
memilukan buat anak anak di sini, dan mereka sudah terbiasa karenanya.
Namun setibanya di rumah, mereka tak lekas tidur siang atau istirahat,
mencari kayu bakar ke hutan, atau menyabit rumput untuk ternak adalah
keseharian mereka. Ada satu kisah yang sampai membuat saya menitikkan
air mata, saya menyampaikan cerita ini pada tulisan yang berjudul, Rani, anakku.
Tapi, segala kesulitan
yang mereka hadapi tak lantas membuat saya memanjakan mereka, dengan
meringankan segala tugas atau membiarkan mereka lalai dalam mengerjakan
tugas. Justru, melihat semua itu, saya bertekad menjadikan mereka kuat.
Tanpa kebencian, bentakan atau pukulan, saya sering meminta mereka untuk
menulis di tengah lapang karena lupa mengerjakan pe er. Dengan
senyuman, saya sering meminta mereka push up karena terlihat seragamnya
tidak rapi. Semua itu pun mereka fahami, karenanya saya tetap bisa
bercanda dengan mereka meski saat sedang memberikan sanksi.
Semua dilakukan dengan Cinta, tanpa dendam dan kebencian.:D
Hasilnya? Memang
tak banyak, bahkan tanpa trophy sama sekali. Itu dikarenakan lomba lomba
yang berkaitan dengan Bahasa Inggris pelaksanaanya ada di Kabupaten,
yang untuk pergi ke sananya, perlu biaya besar. Terlebih, informasi yang
tiba ke sekolah kami pun cenderung telat. Tapi tetap ada yang bisa
mereka kenang, yaitu tulisan tulisan mereka. Sengaja saya melaksanakan
program menulis, karena kemampuan itulah yang lebih bisa saya abadikan.
Setiap tahunnya, minimal seorang siswa membuat sebuah tulisan berbahasa
Inggris. Tulisan yang mereka buat disesuaikan dengan silabus, dimana
kelas VII bercerita tentang diri pribadinya, lalu tentang kegiatan
sehari harinya. Kelas VIII membuat cerita tentang pengalaman pribadinya
yang lucu, unik, bahkan menakutkan, bisa juga tentang deskripsi suatu
benda seekor hewan, atau suatu kejadian. Kelas IX membuat sebuah resensi
film, juga tentang proses membuat sesuatu.
Karya anak anakku yang tertulis dengan Cinta. :D
Saya pun tidak
menafikan bagian bagian lainnya dalam pembelajaran Bahasa. Praktek
membaca (reading), Berbicara (Speaking) juga menyimak (Listening) tetap
saya laksanakan. Meski kadang dengan peralatan seadanya. Untuk
listening, dulu saya menggunakan handphone yang disambungkan ke speaker
PC. Lalu memberikan teks rampung berupa lirik lagu yang mereka dengar.
Untuk speaking, terutama ujian praktek kelas IX, saya selalu meminta
mereka mempraktek kan teks procedure yang telah mereka tulis, seperti bagaimana cara membuat kopi atau jus.
Hanya dengan Cinta mereka mampu melakukan semua ini
Yah, semuanya tak
jadi sulit saat dilakukan dengan cinta. Keterbatasan tak menghalangi
mereka untuk meraih mimpi, meski untuk saat ini saya belum menemukan
cara agar mereka semua tetap melanjutkan sekolah ke SMA atau SMK.
Terlebih lokasi SMA juga SMK yang cukup jauh, membuat para orang tua
berfikir dua kali, karena biaya yang harus mereka keluarkan nantinya
bukan hanya biaya ke sekolah, tapi juga biaya perjalanan (ongkos) anak
anaknya. Yah, untuk mereka, saya tak akan malu untuk meletakan tangan di
bawah, bila memang perlu. Semoga momentum Hari Pendidikan Nasional
nanti akan menjadi momen di mana anak anak ku bisa sekolah layaknya anak
anak Indonesia lainnya.
Sumber Foto : Koleksi pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar